Balita Sukabumi Meninggal Akibat Cacingan, Relawan Ungkap Rumitnya Administrasi Kesehatan Jadi Penghalang

Kasus memilukan terjadi di Sukabumi. Seorang balita RY (4) meninggal dunia setelah sempat dirawat di RSUD Bunut, Kota Sukabumi akibat infeksi parah dari penyakit cacingan akut.
Kisah ini menyita perhatian publik karena penanganan darurat RY terkendala masalah administrasi dan ketiadaan identitas kependudukan.
Founder Rumah Teduh Peaceful Land, Iin Achsien, menjelaskan bahwa laporan mengenai kondisi RY pertama kali diterima pada 13 Juli 2025.
Saat itu, keluarga melaporkan bahwa RY mengalami sesak napas. Relawan Rumah Teduh segera bergerak untuk melakukan asesmen, namun ketika tiba, kondisi bocah itu sudah tidak sadar.
"Waktu dibawa ke rumah sakit, ternyata Raya tidak punya identitas sama sekali. Jadi saat diminta administrasi, kami kesulitan untuk menggunakan layanan BPJS," ungkap Iin, Kamis (21/08/2025).
Pihak rumah sakit sebenarnya sudah memberi kebijakan khusus dengan memberikan waktu 3x24 jam agar identitas dan keanggotaan BPJS bisa diurus.
Namun, hingga batas waktu berakhir, dokumen tetap tidak bisa dipenuhi. Akibatnya, biaya perawatan harus ditanggung langsung oleh Rumah Teduh.
Bagaimana Sikap Rumah Sakit?
Menurut Iin, RSUD Bunut telah memberikan keringanan yang sangat membantu.
"Biasanya pasien tanpa identitas harus langsung bayar deposit. Tapi dalam kasus ini kami diberi kesempatan tiga hari. Namun, karena kendala birokrasi, kami tidak berhasil mendapatkan BPJS. Akhirnya perawatan Raya ditanggung tunai oleh Rumah Teduh,” jelasnya.
Tagihan awal mencapai lebih dari Rp23 juta, namun setelah ada keringanan, jumlah yang dibayarkan hanya sekitar Rp15 juta. Sisanya dibebaskan oleh pihak rumah sakit.
"Jadi hubungan kami dengan rumah sakit sebenarnya baik sekali. Hanya saja aturan memang tidak bisa fleksibel untuk kondisi darurat seperti ini,” tambah Iin.
Apakah Kasus Ini Sering Terjadi?
Iin menegaskan bahwa kasus RY bukanlah yang pertama. Rumah Teduh telah menangani ratusan pasien dengan masalah serupa: tidak memiliki identitas sehingga kesulitan mengakses jaminan kesehatan.
"Masalahnya, sistem kesehatan kita belum berpihak pada masyarakat miskin dan tanpa identitas. Sering kali urusan birokrasi justru membuat penanganan darurat menjadi terlambat," ujarnya.
Ia berharap pemerintah segera membuat kebijakan khusus agar masyarakat miskin dan rentan tidak lagi terkendala administrasi dalam kondisi darurat.
"Kalau ada kasus gawat darurat, seharusnya yang dipikirkan pertama adalah nyawa, bukan administrasi. Sayangnya sistem kita belum sampai ke sana," kata Iin menambahkan.
Relawan Rumah Teduh lainnya, Ajeng, turut membagikan pengalaman sulitnya mengurus dokumen kependudukan Raya untuk mengakses jaminan kesehatan.
"Kami bolak-balik ke Disdukcapil, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, bahkan mencoba menghubungi pimpinan dinas. Tapi tidak ada tindak lanjut hingga waktu tiga hari habis. Akhirnya kami tidak bisa mendapatkan jaminan kesehatan untuk Raya," ungkap Ajeng.
Situasi keluarga RY sangat memprihatinkan. Orang tuanya diketahui mengalami gangguan kejiwaan, sementara RY hanya diasuh oleh nenek yang sudah sepuh. Hal ini membuat proses administrasi semakin sulit.
"Keluarga tidak mungkin responsif karena keterbatasan. Padahal kalau sejak awal masyarakat sekitar bergerak, mungkin kondisi Raya bisa lebih cepat tertangani," kata Ajeng.
Kisah RY pertama kali viral setelah diunggah oleh Rumah Teduh Sahabat Iin melalui media sosial. Dalam video tersebut, terlihat bagaimana RY berjuang melawan penyakit dengan ratusan cacing di tubuhnya.
Ia sempat koma dan dirawat intensif di RSUD Kota Sukabumi hingga akhirnya meninggal dunia pada 22 Juli 2025.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Rumitnya Birokrasi Pemkab Sukabumi dan BPJS Hingga Raya Meninggal Tanpa Jaminan Kesehatan.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!