Geger Kematian Balita di Sukabumi, Demokrat: Bukti Gagalnya Negara Lindungi Rakyat Miskin

Geger Kematian Balita di Sukabumi, Demokrat: Bukti Gagalnya Negara Lindungi Rakyat Miskin

Politikus Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin menilai, meninggalnya balita bernama Raya (4) di Sukabumi, Jawa Barat, merupakan bukti nyata kegagalan sistemik negara dalam melindungi rakyat miskin dan rentan.

“Seorang anak yang mestinya dilindungi oleh program kesehatan dasar dan jaminan sosial—justru gugur karena penyakit yang seharusnya bisa dicegah dan diobati sejak dini,” kata Didi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (20/8).

Didi menyoroti lemahnya sistem administrasi kependudukan, layanan BPJS yang kaku, serta tumpulnya layanan kesehatan primer. Menurutnya, hal itu menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang berujung pada kematian.

“Bocah ini tidak memiliki identitas, tidak terdaftar dalam BPJS, tidak terjangkau posyandu atau puskesmas, hingga akhirnya masuk rumah sakit dalam kondisi kritis. Ironisnya, baru setelah kasusnya viral, pemerintah setempat bergegas mengurus KTP, BPJS, dan bahkan renovasi rumah keluarganya,” paparnya.

Ia mempertanyakan peran negara yang baru hadir setelah tragedi terjadi dan publik marah. Didi menegaskan, penyakit cacingan maupun tuberkulosis bukanlah persoalan baru karena erat kaitannya dengan kemiskinan multidimensional.

“Sanitasi buruk, akses air bersih minim, lingkungan kumuh, hingga lemahnya gizi anak. Namun, bukankah pemerintah sudah memiliki program dana desa, posyandu, hingga pemberantasan TBC nasional? Mengapa semua program itu gagal menyentuh anak ini—dan kemungkinan besar masih banyak anak lain di pelosok negeri?” tegas Didi.

Didi juga mengkritik BPJS Kesehatan yang dianggap diskriminatif terhadap warga tanpa identitas. Menurutnya, kelompok inilah yang justru paling membutuhkan perlindungan negara.

“Sistem birokrasi yang mensyaratkan administrasi formal telah membuat rakyat miskin ‘tidak tercatat, lalu tidak dianggap’. Akibatnya, mereka hanya muncul dalam statistik kematian,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ia menilai Posyandu gagal berperan sebagai garda terdepan kesehatan ibu dan anak, sementara Puskesmas dinilai tidak hadir secara proaktif. Padahal, pemberian obat cacing massal, edukasi kebersihan, dan pemantauan gizi seharusnya bisa menyelamatkan nyawa.

Lebih jauh, Didi menegaskan meninggalnya Raya mencerminkan buruknya koordinasi lintas sektor. Ia menyindir Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan Dinas Kependudukan yang berjalan sendiri-sendiri.

“Pemerintah desa hanya bereaksi setelah kamera media hadir. Jika pola ini terus dibiarkan, tragedi Sukabumi hanya akan menjadi satu dari sekian banyak kematian yang seharusnya bisa dicegah,” katanya.

Didi berharap, pemerintah berhenti menjadikan isu kemiskinan sebagai retorika politik. Ia menekankan, bahwa program bantuan sosial maupun kesehatan harus tepat sasaran dan menyentuh kelompok yang paling rentan.

“Negara harus proaktif menjemput bola: mendata warga miskin, memberikan layanan kesehatan preventif, memastikan sanitasi, dan menghapus hambatan administrasi BPJS,” tegasnya.

Menurut Didi, kasus meninggalnya Raya menjadi tamparan keras bagi pemerintah karena gagal menyelamatkan satu nyawa anak dari penyakit yang seharusnya bisa ditangani.

“Maka kita harus bertanya keras: untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja?” pungkasnya.

Sebagai informasi, Raya bocah berusia tiga tahun di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal pada Juli 2025.

Anak dari Udin (32 tahun) dan Endah (38) itu tewas dengan kondisi cacingan akut.

Keluarga ini tinggal di sebuah rumah bilik dengan model panggung, bagian bawahnya adalah kandang ayam yang penuh kotoran. Diduga Raya terpapar cacing dari sana. (Pon)