Makna Bulan Suro, dari Sejarah, Tradisi Jawa, dan Keistimewaan 10 Muharram

Suro, Muharram, bulan Suro, Tradisi Suro, tradisi Suro, Bulan Suro, muharram, bulan suro, tradisi suro, tradisi suroan, sejarah bulan suro, sejarah bulan suro menurut agama islam, sejarah suro, tradisi suroan di jawa, tradisi suroan jawa, Makna Bulan Suro, dari Sejarah, Tradisi Jawa, dan Keistimewaan 10 Muharram, Tradisi Suro dan Perspektif Hukum Islam, Bulan Suro dalam Perspektif Islam-Jawa, Penetapan Kalender Jawa oleh Sultan Agung, Keistimewaan 10 Muharram dalam Islam, Anjuran Puasa Asyura, Tradisi Satu Suro di Tanah Jawa

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, telah lama mengenal istilah Suro sebagai bulan pertama dalam kalender Jawa.

Istilah ini berasal dari kata 'Asyura', serapan dari bahasa Arab yang berarti “kesepuluh”, merujuk pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah.

Dalam pemahaman masyarakat Islam di Jawa, bulan Suro identik dengan Muharram, dan 10 Muharram dianggap sebagai hari suci karena berbagai peristiwa penting dalam sejarah para Nabi.

Dalam bahasa Jawa, pengucapan Asyura berubah menjadi Suro, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Islam-Jawa.

Bulan Muharram atau Suro termasuk dalam empat bulan haram yang dimuliakan dalam Islam, bersama Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu.”

(QS. At-Taubah: 36)

Tradisi Suro dan Perspektif Hukum Islam

Dalam artikel ilmiah berjudul "Tradisi Satu Suro di Tanah Jawa dalam Perspektif Hukum Islam" oleh Risma Aryanti dan Ashif Az Zafi dari IAIN Kudus, disebutkan bahwa bulan Suro dipandang sebagai bulan sakral yang penuh makna simbolik.

Dalam 10 hari pertama bulan ini, masyarakat Jawa sering melakukan berbagai ritual spiritual sebagai bentuk introspeksi dan pembersihan diri.

“Bagi masyarakat Islam-Jawa, kekeramatan bulan Suro tidak berasal dari ajaran Islam murni, melainkan dipengaruhi oleh budaya keraton,” tulis Risma dan Ashif dalam kajiannya.

Dalam artikel tersebut, dijelaskan pula bahwa penghormatan terhadap bulan Suro dipengaruhi oleh dua sumber: pertama, ajaran Islam mengenai kemuliaan bulan Muharram; dan kedua, warisan budaya lokal Jawa yang mengagungkan momen awal tahun sebagai masa kontemplasi batin.

Penelitian ini menegaskan bahwa meskipun praktik tradisi Suro tidak sepenuhnya bersumber dari ajaran Islam normatif, sebagian besar ritual tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, selama tidak mengandung unsur syirik atau khurafat.

Bulan Suro dalam Perspektif Islam-Jawa

Di kalangan masyarakat Jawa, kata Suro merupakan pelafalan lokal dari Asyura yang telah menjadi bagian dari khasanah budaya Islam-Jawa.

Istilah ini bukan hanya menunjukkan penanggalan, tetapi juga memiliki muatan spiritual dan budaya yang kuat.

Dalam keyakinan masyarakat Islam-Jawa, 10 hari pertama bulan Suro dianggap paling keramat, terutama tanggal 1 hingga 10 Muharram.

Namun, persepsi kesakralan ini lebih dipengaruhi oleh tradisi dan budaya keraton daripada dari doktrin keagamaan murni.

Bulan Suro juga dianggap sebagai momen terbaik untuk melakukan introspeksi diri. Hal ini berakar pada nilai spiritualitas Jawa yang memadukan unsur sufistik Islam dengan budaya lokal.

Oleh karena itu, malam 1 Suro kerap diperingati dengan laku tirakat, doa bersama, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Penetapan Kalender Jawa oleh Sultan Agung

Penanggalan bulan Suro dalam kalender Jawa bermula dari kebijakan Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1633 M. Ia mengganti kalender Saka (Hindu) dengan kalender Jawa-Islami, yang mengikuti sistem komariyah atau peredaran bulan, seperti kalender Hijriah.

Kalender Jawa versi Sultan Agung dimulai pada 1 Suro tahun Alip 1555, yang bertepatan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah.

Sejak itu, penanggalan Jawa mengadopsi konsep waktu Islam, namun tetap mempertahankan unsur budaya lokalnya.

Keistimewaan 10 Muharram dalam Islam

Tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura memiliki kedudukan penting dalam sejarah Islam.

Sejumlah peristiwa besar yang berkaitan dengan para Nabi diyakini terjadi pada tanggal ini, sebagaimana dicatat dalam kitab Mukasyafah al-Qulub karya Imam Al-Ghazali.

Beberapa di antaranya adalah:

1. Nabi Adam AS diciptakan, dimasukkan ke surga, dan diterima taubatnya oleh Allah SWT.

2. Nabi Idris AS diangkat ke langit dan diberi derajat yang tinggi.

3. Nabi Nuh AS dan pengikutnya selamat dari banjir besar dan berlabuh di Bukit Judi.

4. Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api unggun Raja Namrud.

5. Nabi Musa AS dan kaumnya selamat menyeberangi Laut Merah dari kejaran Firaun.

6. Nabi Yusuf AS dibebaskan dari penjara setelah difitnah oleh Zulaikha.

7. Nabi Yakub AS disembuhkan dari kebutaan dan bertemu kembali dengan Nabi Yusuf.

8. Nabi Yunus AS keluar dari perut ikan besar setelah taubatnya diterima.

9. Nabi Sulaiman AS dianugerahi kerajaan yang agung oleh Allah SWT.

10. Nabi Daud AS diampuni dari dosa dan fitnah yang menimpanya.

11. Nabi Isa AS lahir dan diangkat ke langit oleh Allah SWT pada tanggal ini.

12. Nabi Muhammad SAW menerima petunjuk hijrah dan wahyu sebagai pencerahan umat.

Anjuran Puasa Asyura

Rasulullah SAW sendiri menganjurkan puasa Asyura sebagai bentuk ibadah dan rasa syukur atas berbagai peristiwa agung tersebut. Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan:

“Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)

Puasa Asyura juga memiliki keutamaan tersendiri, di antaranya dapat menghapus dosa-dosa kecil selama satu tahun sebelumnya. Tradisi ini terus dilestarikan oleh umat Islam hingga kini.

Tradisi Satu Suro di Tanah Jawa

Dalam budaya Jawa, malam 1 Suro diperingati dengan nuansa spiritual dan mistik.

Pergantian tahun baru Jawa dimulai saat matahari terbenam, berbeda dengan sistem Masehi yang dimulai pukul 00.00. Oleh masyarakat Jawa, 1 Suro dianggap sebagai saat sakral untuk memulai hidup yang baru, membersihkan diri secara batin, dan merenungkan perjalanan hidup.

Perayaan malam Satu Suro sering diisi dengan tirakat, zikir, ritual keheningan, serta kegiatan budaya seperti kirab pusaka, terutama di wilayah keraton seperti Yogyakarta dan Surakarta.

Bulan Suro atau Muharram adalah momentum yang penuh nilai historis dan spiritual, baik dalam ajaran Islam maupun budaya lokal Jawa.

Dengan berbagai peristiwa besar yang diyakini terjadi pada bulan ini, umat Islam diimbau untuk meningkatkan ibadah, memperbanyak doa, dan melakukan refleksi diri. Tradisi Suro menjadi bukti nyata bagaimana nilai-nilai Islam dapat bersinergi harmonis dengan budaya lokal masyarakat Indonesia.