Bulan Suro dan Larangan Hajatan dalam Tradisi Jawa, Apa Konsekuensinya Jika Dilanggar?

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah dipandang sebagai masa yang sakral dan sarat akan nilai spiritual.
Malam 1 Suro, yang menandai awal bulan ini, jatuh pada Kamis, 26 Juni 2025. Bagi orang Jawa, khususnya di daerah bekas kekuasaan Mataram Islam seperti Yogyakarta dan Surakarta, malam ini menjadi momen untuk introspeksi dan menjaga harmoni dengan alam semesta.
Sebagai puncak pergantian tahun dalam sistem penanggalan Jawa, Malam 1 Suro sering diisi dengan perenungan, laku prihatin, dan kegiatan spiritual.
Pada malam ini, masyarakat umumnya menghindari kegiatan yang bersifat hura-hura, seperti larangan menggelar hajatan atau pesta.
Kenapa Tidak Boleh Menggelar Hajatan di Bulan Suro?
Menurut Kanjeng Pangeran (KP) Budayaningrat S. Yusdianto, Dewan Penasehat Persatuan Pambiwara Republik Indonesia (PEPARI) dan pengajar Pasinaon Pawiyatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, larangan ini bukan semata-mata mitos, tetapi bagian dari etika dan batasan budaya Jawa.
"Itu cuma batasan peradaban. Orang Jawa itu bulan Suro sebagai bulan introspeksi," ujar Kanjeng Yus kepada Kompas.com, Kamis (19/6/2025).
Ia menjelaskan, saat introspeksi, seseorang harus menghindari kesenangan demi menetralkan kondisi batin.
Gelaran hajatan yang bersifat meriah dianggap bertentangan dengan semangat prihatin di bulan Suro.
"Introspeksi itu ujungnya adalah waspada. Menghitung apa yang sudah dan belum dilakukan di tahun sebelumnya," tambahnya.
Di masyarakat Jawa berkembang pula mitos bahwa di bulan Suro, Keraton “menggelar mantu” dengan Nyai Rara Kidul.
Oleh karena itu, masyarakat awam dianjurkan untuk tidak ikut mengadakan hajatan, demi menghormati “pernikahan gaib” tersebut.
"Hajatan itu dianggap senang-senang, terus dinggo medeni neh, 'Keraton ndue mantu karo Nyai Rara Kidul, dadi kabeh ora etuk'," ujar Kanjeng Yus.
Keraton, sebagai pusat budaya dan simbol spiritual masyarakat Jawa, berperan besar dalam membentuk teladan kehidupan spiritual bagi rakyat.
Dengan bersikap prihatin, keraton memperkuat ajaran bahwa bulan Suro adalah masa kontemplasi, bukan selebrasi.
Apa Hubungan Bulan Suro dengan Tragedi Karbala?
Kanjeng Yus juga menjelaskan bahwa sikap prihatin di bulan Suro punya korelasi dengan peristiwa Karbala pada 10 Muharram 61 Hijriah, ketika cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali, wafat dalam pertempuran.
Peristiwa tersebut memberi nuansa duka yang dalam bagi umat Islam, dan turut membentuk persepsi sakral terhadap bulan ini.
Karena itu, ajaran dan tradisi Jawa yang bercorak Islam juga turut menyerap nilai-nilai duka dan refleksi tersebut.
Bulan Suro menjadi masa untuk memperkuat hubungan dengan Tuhan dan melakukan laku spiritual seperti puasa, tirakat, dan ngrowot (mengganti nasi dengan umbi-umbian).
Apa Konsekuensinya Jika Tetap Menggelar Hajatan?
Meski tidak ada larangan hukum, masyarakat Jawa meyakini bahwa menggelar hajatan di bulan Suro akan mengundang sanksi sosial.
Bentuk sanksi ini berupa pandangan negatif dari masyarakat dan anggapan kurang sensitif terhadap nilai budaya dan spiritual.
"Lha di sisi lain untuk introspeksi diri, dia melakukan apa saja tidak masalah selama dia berani menanggung kecaman sosial masyarakat," tegas Kanjeng Yus.
Namun, ia juga menambahkan bahwa sikap ini bisa berbeda tergantung wilayah. Di daerah luar Jawa Tengah seperti Jakarta atau Surabaya, hajatan di bulan Suro tak lagi dianggap tabu.
Pandangan ini mencerminkan bahwa tradisi budaya bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai konteks lokal.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".