Malam 1 Suro dan Pantangan Menikah: Mitos, Budaya, atau Bentuk Penghormatan?

Malam 1 Suro selalu identik dengan suasana hening dan penuh kekhidmatan dalam tradisi masyarakat Jawa.
Malam 1 Suro 2025 akan jatuh pada Kamis (26/6/2025) malam.
1 Suro sendiri akan berlangsung pada Jumat (27/6/2025) bertepatan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah, atau awal tahun baru Islam.
Bulan Suro, yang juga dikenal sebagai Muharram dalam kalender Hijriah, dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh nilai spiritual.
Salah satu keyakinan yang berkembang luas di kalangan masyarakat adalah larangan menggelar pernikahan atau hajatan besar selama bulan ini.
Lantas, benarkah hal itu?
Penjelasan budayawan soal larangan pernikahan di bulan Suro
Budayawan sekaligus sejarawan asal Solo, Tunjung W. Sutirto, menjelaskan bahwa keyakinan larangan menggelar pernikahan atau hajatan besar pada bulan Suro tersebut masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat, terutama di wilayah Solo dan Yogyakarta.
Larangan tersebut didasarkan pada kepercayaan bahwa pernikahan di bulan Suro bisa mendatangkan malapetaka.
"Ada istilah halat atau kualat yang diyakini masyarakat akan menimpa dirinya sendiri, kualat menimpa keturunannya semacam karma karena dulu orangtuanya melanggar aturan leluhur (menikah di bulan Suro)," ujar Tunjung kepada Kompas.com, Senin (23/6/2025) malam.
Istilah "kualat" sendiri dalam budaya Jawa merujuk pada konsekuensi spiritual yang muncul akibat melanggar norma atau pakem leluhur.
Tak heran jika banyak pasangan memilih menunda atau mempercepat tanggal pernikahan agar tidak bertepatan dengan bulan tersebut.
Meski demikian, Tunjung menegaskan bahwa secara filosofis, bulan Suro justru memiliki makna yang sangat istimewa.
Makna bulan Suro di lingkungan Keraton Surakarta
Mengetahui kapan jatuhnya malam 1 Suro 2025, benarkah bertepatan dengan malam Jumat Kliwon?
Dalam lingkungan Keraton Surakarta, bulan ini bahkan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menggelar pernikahan bagi kalangan bangsawan.
“Untuk anak raja, justru dianggap lebih afdol menikah di bulan Suro. Tapi masyarakat umum diimbau tidak ‘ngungkuli’ atau melampaui kewibawaan keraton dengan menggelar acara besar di bulan itu,” jelasnya.
Ia menyebutkan, pelarangan tersebut bukan berdasarkan agama maupun hukum adat yang tegas, melainkan bentuk penghormatan terhadap keraton sebagai pusat budaya.
Dalam struktur sosial tradisional Jawa, keraton memiliki hak istimewa untuk menggelar acara sakral di waktu yang juga dianggap keramat.
“Dalam budaya keraton, raja disebut gusti, representasi dewa raja kultus. Gusti punya hak previlege untuk menggelar acara besar, termasuk pernikahan, di bulan Suro. Masyarakat umum diharapkan menghormati hal itu,” tambah Tunjung.
Makna spiritual dan asal-usul penanggalan Suro
Tunjung juga memaparkan bahwa bulan Suro merupakan simbol tahun baru dalam kalender Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung pada 1633.
Kalender ini adalah hasil akulturasi antara sistem penanggalan Islam dan tradisi Hindu-Jawa, dengan fokus pada nilai-nilai batin dan spiritualitas.
“Tahun baru Jawa itu dimaknai dengan laku batin, bukan euforia. Tradisinya adalah tirakat, puasa, dan doa untuk keselamatan di tahun yang baru,” ungkapnya.
Di lingkungan keraton, malam 1 Suro diperingati melalui kegiatan tapa bisu dan kirab pusaka, sebuah ritual sunyi dan sakral yang merefleksikan perenungan diri, bukan pesta meriah.
Larangan yang mulai lentur di era modern
Kendati kepercayaan terhadap larangan menikah di bulan Suro masih hidup di sejumlah wilayah, Tunjung menyebut fenomena ini kini mulai bersifat relatif.
Banyak pasangan masa kini yang memilih tetap menggelar pernikahan karena alasan praktis dan kebutuhan mendesak.
“Kadang ada yang tetap menikah karena terpaksa harus segera menikah, misalnya salah satu pasangan harus segera ke luar negeri. Ada juga yang akad nikahnya dilakukan sebelum Suro, tapi resepsinya digelar setelahnya,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun larangan tersebut tak lagi bersifat mutlak, masyarakat Solo cenderung tetap menghormati nilai-nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
“Keyakinan itu tidak lagi menjadi gejala umum. Tapi di kota seperti Solo, masyarakat masih menghormati nilai-nilai budaya semacam itu,” pungkasnya.