Malam 1 Suro dan Larangan Keluar Rumah: Ini Penjelasan Budayawan tentang Tradisi dan Mitos Jawa

Malam 1 Suro, malam 1 Suro, Larangan Keluar Rumah, larangan keluar rumah, Mitos Malam 1 Suro, Sultan Agung, mitos malam 1 suro, Malam 1 Suro dan Larangan Keluar Rumah: Ini Penjelasan Budayawan tentang Tradisi dan Mitos Jawa, Mengapa Ada Larangan Keluar Rumah?, Apa Itu Lampor dan Kaitannya dengan Malam 1 Suro?, Mengapa Banyak Mitos Malam 1 Suro?, Apa Peran Sultan Agung dalam Tradisi Ini?

Malam 1 Suro adalah malam yang menandai awal bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Tahun ini, malam 1 Suro jatuh pada Kamis (26/6/2025) malam.

Malam tersebut juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam penanggalan Islam, yang menandai awal tahun baru Hijriah.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, malam 1 Suro dianggap sebagai waktu yang sakral dan penuh makna spiritual.

Mengapa Ada Larangan Keluar Rumah?

Salah satu kepercayaan yang berkembang adalah larangan keluar rumah pada malam 1 Suro. Masyarakat percaya bahwa keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada malam tersebut dapat membawa kesialan dan mendatangkan hal-hal buruk.

Budayawan sekaligus dosen Program Studi Ilmu Sejarah di UNS Surakarta, Tundjung Wahadi Sutirto, menjelaskan bahwa kepercayaan ini berasal dari tradisi masyarakat pedesaan di masa lalu.

"Dimitoskan bahwa pada malam 1 Suro itu Kanjeng Ratu Kidul sedang mengutus prajuritnya untuk berkunjung ke keraton," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (24/6/2025).

"Dalam perjalanannya itu, daerah yang dilewatinya akan merasakan aura seperti suara deru angin yang kencang. Sehingga agar tidak terkena aura yang negatif karena ada makhluk halus yang lewat maka disyaratkan agar tinggal di dalam rumah saja," sambungnya.

Apa Itu Lampor dan Kaitannya dengan Malam 1 Suro?

Tundjung menjelaskan bahwa dalam budaya Jawa, lewatnya makhluk halus ini dikenal dengan istilah lampor.

Kepercayaan ini menyebutkan bahwa lampor muncul saat pergantian Tahun Baru Jawa dan Islam.

Oleh karena itu, muncul larangan atau pepali yang menganjurkan agar masyarakat tidak keluar rumah pada malam 1 Suro.

"Itu tentu sebuah mitos. Tetapi substansinya dalam mitos itu ada nilai yaitu dalam memaknai pergantian tahun dilakukan dengan cara berdiam diri sembari melakukan doa kepada Yang Maha Kuasa," jelas Tundjung.

Mengapa Banyak Mitos Malam 1 Suro?

Menurut Tundjung, banyaknya mitos yang beredar di malam 1 Suro merupakan bentuk pemuliaan bulan yang dianggap istimewa.

Dalam bulan ini terdapat hari Asyura yang diyakini sebagai waktu terjadinya peristiwa besar yang menunjukkan kekuasaan Tuhan.

"Misalnya, di bulan Suro banyak kejadian seperti diselamatkannya Nabi Musa dan kaumnya dari Firaun," ucapnya.

"Ada juga peristiwa besar lain seperti hari di mana Nabi Yunus diselamatkan dari perut ikan," tambahnya.

Apa Peran Sultan Agung dalam Tradisi Ini?

Tundjung menjelaskan bahwa ketika Sultan Agung melihat adanya peristiwa-peristiwa besar di bulan Muharram, ia memutuskan untuk menggabungkan kalender Jawa dan Hijriah.

Langkah ini dilakukan untuk menjadikan momen tersebut sebagai pengingat bagi masyarakat Jawa akan kebesaran dan kekuasaan Sang Maha Pencipta.

"Maka agar tuntunan itu lestari, satu-satunya dibungkus melalui mitos-mitos di seputar malam 1 Suro," kata Tundjung.

Tundjung menekankan bahwa inti dari semua mitos dan kepercayaan yang berkembang terkait malam 1 Suro adalah upaya harmonisasi dalam kehidupan.

Baik berupa larangan, ritual, maupun doa, semuanya bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan semesta dan mengingatkan manusia akan kekuasaan Tuhan.

"Intinya semua mitos dalam bentuk kepercayaan maupun ritual terkait 1 Suro itu esensinya adalah harmonisasi dalam tata kehidupan semesta ini," pungkasnya.

Malam 1 Suro bukan sekadar mitos atau kepercayaan turun-temurun, melainkan refleksi budaya dan spiritualitas yang telah lama mengakar di tengah masyarakat Jawa.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".