Suro Bulan Istimewa, Kenapa Justru Dilarang Menikah? Ini Penjelasan Budayawan

Bulan Suro, bulan Suro, Suro, Muharam, pantangan, bulan suro, larangan menikah di bulan suro, Suro Bulan Istimewa, Kenapa Justru Dilarang Menikah? Ini Penjelasan Budayawan, Bulan Suro Sakral tapi Dihindari untuk Pernikahan, Apa Itu Kualat dalam Budaya Jawa?, Faktanya Keluarga Keraton Justru Menikah di Bulan Suro, Larangan Menikah di Bulan Suro, Bagian dari Tatanan Sosial, Filosofi Suro: Bukan untuk Pesta, tapi Perenungan, Menikah di Bulan Suro, Bolehkah?

Bulan Suro sering disebut sebagai bulan sakral dalam penanggalan Jawa.

Namun, di tengah kemistisan dan keistimewaannya, masyarakat Jawa justru menghindari menggelar pernikahan selama bulan ini.

Apa sebenarnya alasan di balik larangan menikah di bulan Suro? Simak penjelasan lengkap dari budayawan Solo berikut ini.

Bulan Suro Sakral tapi Dihindari untuk Pernikahan

Dalam tradisi masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Solo dan Yogyakarta, bulan Suro dikenal sebagai waktu yang penuh makna spiritual.

Meski demikian, banyak keluarga memilih tidak menyelenggarakan hajatan besar, termasuk pernikahan, selama bulan ini.

Budayawan dan sejarawan Solo, Tunjung W. Sutirto, menjelaskan bahwa larangan ini merupakan warisan tradisi yang masih diyakini sebagian besar masyarakat.

Masyarakat Jawa meyakini, adanya kutukan atau hal buruk yang akan terjadi jika mereka menikah di bulan Suro.

"Ada istilah halat atau kualat yang diyakini masyarakat akan menimpa dirinya sendiri, kualat menimpa keturunannya semacam karma karena dulu orangtuanya melanggar aturan leluhur (menikah di bulan Suro)," kata Tunjung saat diwawancarai KOMPAS.com, Senin (23/6/2025).

Apa Itu Kualat dalam Budaya Jawa?

Kualat adalah keyakinan bahwa seseorang akan menerima akibat buruk karena melanggar aturan adat atau norma leluhur.

Dalam konteks pernikahan, pasangan yang menikah di bulan Suro dikhawatirkan akan menghadapi masalah rumah tangga, keturunan, atau nasib buruk lainnya.

Lantaran kepercayaan itu, banyak pasangan kemudian memilih menunda atau mempercepat akad nikah agar tidak bertepatan dengan bulan Suro.

Faktanya Keluarga Keraton Justru Menikah di Bulan Suro

Menariknya, keluarga kerajaan justru menganggap bulan Suro sebagai waktu yang tepat untuk menggelar pernikahan.

Hal ini lantaran Suro dianggap sebagai bulan yang istimewa dalam sistem penanggalan Jawa maupun kalender Hijriah.

Suro menjadi bulan pertama dalam kalender Jawa. Selain itu, banyak peristiwa penting, bersejarah, dan penuh keajaiban yang diyakini terjadi pada bulan Suro atau Muharam dalam kalender Hijriah. 

Oleh karena itu, keluarga kerajaan memilih menggelar pernikahan di bulan Suro.

Namun, tidak demikian dengan masyarakat awam yang justru dilarang menikah di bulan ini.

Tunjung menjelaskan, larangan menikah di bulan Suro dibuat agar masyarakat awam tidak melebihi atau menandingi kewibawaan keluarga kerajaan.

“Untuk anak raja, justru dianggap lebih afdol menikah di bulan Suro. Tapi masyarakat umum diimbau tidak ‘ngungkuli’ atau melampaui kewibawaan keraton dengan menggelar acara besar di bulan itu,” jelas Tunjung.

Larangan Menikah di Bulan Suro, Bagian dari Tatanan Sosial

Menurut Tunjung, larangan ini berkaitan dengan struktur sosial masyarakat Jawa. Dalam budaya keraton, hanya keluarga raja yang memiliki “privilege” untuk melangsungkan hajatan agung di waktu sakral.

“Dalam budaya keraton, raja disebut gusti, representasi dewa raja kultus. Gusti punya hak previlage untuk menggelar acara besar, termasuk pernikahan, di bulan Suro. Masyarakat umum diharapkan menghormati hal itu,” katanya.

Filosofi Suro: Bukan untuk Pesta, tapi Perenungan

Suro merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung pada tahun 1633.

Di Keraton Kasunanan Surakarta, malam 1 Suro biasanya diisi dengan tirakat, tapa bisu, dan kirab pusaka, bukan pesta.

“Tahun baru Jawa itu dimaknai dengan laku batin, bukan euforia. Tradisinya adalah tirakat, puasa, dan doa untuk keselamatan di tahun yang baru,” tutur Tunjung.

Menikah di Bulan Suro, Bolehkah?

Meski tradisi masih kuat, tidak ada hukum agama atau hukum adat yang secara tegas melarang pernikahan di bulan Suro.

Kini, banyak pasangan memilih tetap menikah di bulan ini karena pertimbangan praktis.

Ada pula pasangan yang lebih dulu melakukan ijab kabul sebelumnya, kemudian menggelar pesta pernikahan saat Suro.

“Kadang ada yang tetap menikah karena terpaksa harus segera menikah, misalnya salah satu pasangan harus segera ke luar negeri. Ada juga yang akad nikahnya dilakukan sebelum Suro, tapi resepsinya digelar setelahnya,” jelas Tunjung.

Tunjung menegaskan bahwa larangan menikah di bulan Suro kini bersifat relatif.

Sebagian masyarakat masih memegang teguh tradisi, namun sebagian lainnya mulai bersikap fleksibel.

“Keyakinan itu tidak lagi menjadi gejala umum. Tapi di kota seperti Solo, masyarakat masih menghormati nilai-nilai budaya semacam itu,” katanya.

Larangan menikah di bulan Suro bukanlah aturan mutlak, melainkan bagian dari nilai-nilai budaya dan simbolisme sosial masyarakat Jawa.

Meski begitu, keputusan untuk menikah di bulan Suro tetap menjadi pilihan pribadi, selama tidak melanggar hukum agama maupun hukum negara.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .