Refleksi Bulan Suro Mangkunegaran Solo di Tengah Ramainya Sarinah Jakarta

Lantunan alat musik gender berbisik lembut di sudut pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat.
Satu per satu pengunjung mal mulai melipir, menengok ke sumber suara di mana tiga orang dengan pakaian baju tradisional berbahan lurik, duduk bersila.
Suara musik serupa gamelan ini hampir tak henti melantun selama dua jam, diiringi tembang Serat Wedhatama yang digubah oleh KGPAA Mangkoenagoro IV.
“Tan samar pamoring suksma. Sinusksmaya winahya ing ngasepi. Sinimpen telengi kalbu. Pambukaning warana. Tarlen saking liyep layaping aluyup. Pindha pesating sanpena. Sumusuping rasa jati,” begitu bunyi bait ke-13 Serat Wedhatama.
Dalam bahasa Indonesia, bait ini menggambarkan keadaan seseorang mendapatkan pencerahan melalui perenungan saat menyepi atau mengasingkan diri.

Tradisi demikian biasa dilakukan selama bulan Suro. Layaknya tahun baru masehi, masyarakat Jawa juga memaknai kehidupan setahun belakangan dan mengirim harapan di tahun baru menurut kalender Jawa.
“Tema Suro tahun ini adalah refleksi. Ada tiga garis besar yang diangkat, yaitu Atita, Atiki, dan Anagata” kata Salma Dyah Kusuma, penjaga pameran yang ditemui Kompas.com di lokasi, Minggu (13/7/2025).
Atita berarti masa lampau. Atiki adalah masa kini. Anagata artinya masa depan.
Ketiga konsep waktu dalam budaya Jawa ini menjadi momentum transisi, titik hening untuk meninjau diri dan menentukan arah ke depan.
Pameran budaya hasil kerja sama Pura Mangkunegaran dan Sarinah ini juga menampilkan lorong kaca berukuran setapak, sebagai bagian dari tapa bisu, yakni ajakan untuk introspeksi diri, perenungan, dan penyucian batin saat menyambut tahun baru.
Tepat di bagian ujung lorong, pengunjung akan menemui dupa beserta bunga mawar, melati, dan pandan.

Anunsung Sura Mangkunegaran, Pameran Bulan Suro Jawa di Mal Sarinah Jakarta.
Sementara bunga-bunga dijadikan pengharum alami dalam adat Jawa, dupa yang menghasilkan asap mengarah ke langit, dipercaya akan membawa doa dan harapan masyarakat Jawa kepada Sang Kuasa.
Usai menyusuri lorong setapak, pengunjung pameran bisa berfoto di instalasi Ageman, memamerkan pakaian adat tradisional di Pura Mangkunegaran yang biasa dipakai pada Malam Satu Suro.
“Untuk putri bisa menggunakan kebaya hitam ketika malam satu suro. Bisa berupa kebaya kutu baru maupun kartini dengan jarik motif sogan berlatar hitam,” kata Salma.
“Untuk laki-laki, pakaiannya namanya beskap krowok gaya Mangkunegaran berwarna hitam dan berkancing hitam polos," sambungnya.
Berbeda dengan penutup kepala dari Yogyakarta, blangkon di Mangkunegaran bersimpul pita di bagian belakang, bukan cepolan seperti khas Yogyakarta.
Khimadnya tradisi bulan Suro Mangkunegaran Solo ini bisa dirasakan gratis di Lantai Dasar Mal Sarinah dekat Lobi Thamrin selama 26 Juni-26 Juli 2025.
Khusus penampilan macapatan hanya bisa disaksikan pukul 17.00-20.00 WIB pada Senin-Jumat, serta pukul 12.00-14.00 WIB dan 17.00-20.00 WIB pada Sabtu-Minggu.