Asal-Usul Malam 1 Suro: Dari Kalender Sultan Agung hingga Mitos Jawa

Malam 1 Suro, malam 1 Suro, tradisi malam 1 suro, sejarah malam 1 suro, mitos malam 1 suro, larangan malam 1 Suro, asal-usul malam 1 suro, Asal-Usul Malam 1 Suro: Dari Kalender Sultan Agung hingga Mitos Jawa, Awal Mula Penanggalan Jawa: Inisiatif Sultan Agung, Arti Kata "Suro", Makna Simbolik: Persatuan dan Spiritualitas, Mitos-mitos yang Mengiringi Malam 1 Suro, Tradisi yang Terus Lestari

Malam 1 Suro selalu diperingati masyarakat Jawa sebagai momen spiritual yang penuh makna.

Selain menjadi penanda awal tahun dalam kalender Jawa, malam ini juga dipercaya memiliki nilai mistis dan sakral yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman kerajaan.

Berdasarkan kalender Hijriah 1447 H yang dirilis Kementerian Agama RI, 1 Muharram 1447 H jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025.

Dengan demikian, malam 1 Suro 1959 Jawa diperingati pada malam hari sebelumnya, yaitu Kamis malam, 26 Juni 2025.

Awal Mula Penanggalan Jawa: Inisiatif Sultan Agung

Asal-usul peringatan malam 1 Suro tidak lepas dari peran Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram Islam pada abad ke-17.

Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung menciptakan sistem kalender Jawa sebagai upaya menyatukan dua tradisi besar di Nusantara saat itu: Hindu dan Islam.

Sistem penanggalan yang diciptakannya menggabungkan kalender Saka (Hindu) dengan kalender Hijriah (Islam), dengan tanggal 1 Suro dipilih sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa.

Penyesuaian ini menjadikan kalender Jawa dimulai setiap 1 Muharram, menjadikannya tidak hanya relevan secara budaya, tetapi juga secara keagamaan bagi umat Islam.

Arti Kata "Suro"

Dilansir dari laman Kompas.com, istilah "Suro" berasal dari kata "Asyura", yang dalam bahasa Arab berarti sepuluh, yakni merujuk pada tanggal 10 Muharram.

Dalam budaya Jawa, nama "Suro" digunakan untuk menyebut keseluruhan bulan Muharram. Bulan ini dipandang suci, sama seperti dalam ajaran Islam, dan menjadi waktu untuk melakukan kontemplasi dan laku spiritual.

Makna Simbolik: Persatuan dan Spiritualitas

Dalam konteks sejarah, pemilihan malam 1 Suro juga bertujuan untuk mempersatukan raja dan rakyat biasa.

Sultan Agung menggantikan ritual kerajaan Rajawedha yang bersifat elitis dengan tradisi rakyat Gramawedha, yang waktunya bersamaan dengan 1 Muharram.

Tujuannya adalah menjadikan malam ini sebagai titik pertemuan antara kekuasaan dan masyarakat dalam sebuah perayaan spiritual yang inklusif.

Malam 1 Suro pun dipandang sebagai waktu suci dan penuh makna. Bagi masyarakat Jawa, ini adalah momen untuk "eling lan waspodo" (ingat dan waspada), serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai laku spiritual seperti tirakat, tapa bisu, hingga ritual siraman.

Mitos-mitos yang Mengiringi Malam 1 Suro

Seiring berjalannya waktu, berbagai mitos berkembang di sekitar malam 1 Suro.

Beberapa larangan atau pantangan kerap dilakukan oleh masyarakat karena dianggap sebagai upaya menjaga diri dari marabahaya atau gangguan gaib.

Budayawan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tundjung W. Sutirto, menyebut bahwa mitos-mitos ini muncul sebagai bentuk pensakralan terhadap pergantian tahun dalam budaya Jawa.

Masyarakat meyakini bahwa pada malam ini, aura mistis meningkat dan hal-hal gaib lebih mudah terjadi.

Beberapa mitos yang populer antara lain:

  • Tidak boleh keluar rumah, terutama bagi orang dengan weton tertentu.
  • Tidak diperkenankan menikah, pindah rumah, atau membangun rumah.
  • Dilarang membuat keramaian, berbicara keras, atau bersenang-senang secara berlebihan.

Menurut Tundjung, semua mitos ini berakar dari nilai pengendalian diri dan bukan sekadar larangan tanpa makna.

Ia menekankan bahwa makna sejati dari malam 1 Suro adalah introspeksi, pengendalian hasrat, dan mencari ketenangan batin.

“Semua mitos tentang malam Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang,” kata Tundjung.

“Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu).”

Tradisi yang Terus Lestari

Hingga kini, berbagai daerah di Jawa masih melestarikan tradisi malam 1 Suro, seperti kirab pusaka di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, tapa bisu, ziarah ke makam leluhur, serta siraman.

Meskipun ada sebagian masyarakat yang mulai memaknainya secara lebih simbolik, tradisi ini tetap menjadi warisan penting dalam menjaga identitas budaya Jawa.