Top 6+ Mitos Larangan Malam 1 Suro dan Asal-usulnya Menurut Budayawan

Malam 1 Suro akan jatuh pada hari ini, Kamis (26/6/2025) malam dan dianggap sebagai malam yang sakral serta dipenuhi nuansa mistis oleh sebagian masyarakat Jawa.
Malam 1 Suro umumnya dirayakan dalam nuansa hening, tenang, dan penuh perenungan.
Suasana malam 1 Suro berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang identik dengan pesta, konser, dan kembang api.
Namun, di balik keheningannya, malam 1 Suro juga dipenuhi mitos-mitos larangan yang dipercaya secara turun-temurun.
Larangan-larangannya berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan sebenarnya tidak dipercaya oleh semua orang Jawa, namun mitosnya masih berkembang hingga hari.
Apa saja mitos-mitos larangan pada malam 1 Suro?
6 mitos larangan di malam 1 Suro
1. Larangan keluar rumah di malam hari
Larangan keluar rumah di malam hari dikaitkan dengan mitos gerbang gaib yang terbuka pada malam 1 Suro.
Saat gerbang gaib terbuka, makhluk halus dan roh leluhur dipercaya bergentayangan, dan orang-orang yang keluar rumah berisiko diganggu oleh mereka.
Dikuti dari penelitian Galuh Kusuma Hapsari dalam Jurnal Komunikasi Makna Ritual Masyarakat Jawa (2024), mitos larangan tersebut bermula dari upaya membangun ketenangan batin.
"Pada malam Satu Suro, masyarakat percaya bahwa lebih baik berdiam diri di rumah terutama pada malam hari, karena dipercaya akan mendatangkan kesialan atau hal negatif," tulis Galuh.
2. Larangan pindah atau membangun rumah
Larangan pindah atau membangun rumah pada malam 1 Suro dikaitkan pada kepercayaan bahwa tindakan tersebut akan menuai kesialan.
Secara spiritual, malam hari dianggap sebagai masa untuk menetap, bukan untuk berpindah-pindah apalagi melakukan sesuatu yang besar.
3. Larangan mengucapkan kata-kata kasar
Larangan mengucapkan kata-kata kasar juga didasarkan pada keyakinan bahwa tindakan tersebut akan mendatangkan kesialan.
Galuh Kusuma Hapsari menulis ucapan buruk pada malam 1 Suro dianggap memiliki kekuatan yang bisa mengubah perkataan menjadi kenyataan.
"Ini juga dikaitkan dengan sebagian orang Jawa yang percaya keberadaan makhluk gaib di bulan Suro. Mereka akan keluar dan mencari manusia yang bertindak lalai dalam ingat dan waspada (eling lan waspada)," tulis Galuh.
4. Larangan menggelar hajatan atau pernikahan
Sebagian masyarakat Jawa percaya, menggelar hajatan atau pernikahan pada malam 1 Suro akan memancing sial.
Mirip dengan larangan pindah atau membangun rumah, malam 1 Suro dianggap malamnya para leluhur, sehingga kegiatan yang bersifat pesta dianggap kurang etis untuk dilaksanakan.
5. Larangan berbicara dan berisik
Dalam filosofi Jawa, malam 1 Suro diperuntukkan untuk kontemplasi dan refleksi, bukan aktivitas yang memancing suara keras.
Oleh sebab itu, muncul pula larangan untuk berbicara atau menimbulkan suara berisik, tujuannya agar malam 1 Suro bisa dilalui secara khidmat.
Sebagian masyarakat Jawa akan melakoni tapa bisu atau tidak berbicara sepanjang malam 1 Suro.
Sementara itu, Keraton Yogyakarta akan melaksanakan prosesi mubeng beteng pada malam 1 Suro, yakni tradisi berjalan kaki mengelilingi benteng tanpa mengeluarkan suara.
6. Larangan memotong rambut dan kuku
Larangan memotong rambut dan kuku merupakan kepercayaan yang sebenarnya tidak hanya berlaku pada malam 1 Suro, namun sepanjang bulan Suro.
Dalam sistem kebudayaan masyarakat Jawa, larangan tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa memotong rambut dan kuku kan mendatangkan kesialan bagi yang melakukannya.
Asal-usul mitos larangan malam 1 Suro
Tradisi malam satu suro di Jawa - Kirab Pusaka Malam 1 Suro Keraton Surakarta. Mengetahui kapan jatuhnya malam 1 Suro 2025, benarkah bertepatan dengan malam Jumat Kliwon?Budayawan sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS), Tundjung W. Sutirto, menjelaskan mitos larangan malam 1 Suro bisa ditelusuri dari penyatuan kalender Islam dan Jawa.
Penyatuan sistem penanggalan Saka dan Hijriah diinisiasi oleh raja Mataram Islam, Sultan Agung Hanyakrakusuma, pada 8 Juli 1633 Masehi.
Sejak saat itu tanggal 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram 1447 atau yang dikenal sebagai tahun baru Islam.
"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malam Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," kata Tundjung kepada , Kamis (13/7/2023).
Mitos larangan malam 1 Suro berkembang
Salah Satu Pusaka dari Ndalem Ageng Puro Mangkunegaran Saat Kirab Pusaka Dalem Malam 1 Suro.
Tundjung melanjutkan tindak menyakralkan malam Suro mendorong masyarakat Jawa untuk melakukan berbagai bentuk laku spiritual, baik di malam 1 Suro maupun sepanjang bulan Suro.Pada perkembangannya, muncul juga mitos larangan seperti tidak boleh keluar rumah, tidak boleh menggelar pesta pernikahan, dan lain sebagainya.
Tunjdung menjelaskan, esensi dari mitos-mitos larangan tersebut adalah pembentukan sikap mawas diri.
"Semua mitos tentang malam Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," pungkasnya.