Top 5+ Mitos Larangan di Malam 1 Suro, Malam Sakral dalam Tradisi Jawa

Malam 1 Suro dikenal sebagai malam pertama dalam tahun baru menurut penanggalan Jawa.
Perayaannya berlangsung setelah Maghrib menjelang tanggal 1 Suro, yang dalam kalender Hijriah bertepatan dengan 1 Muharram.
Ini bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah, yang tahun ini jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025 sesuai Keputusan Bersama Tiga Menteri, dan ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Dengan demikian, malam 1 Suro diperingati pada Kamis malam, 26 Juni 2025.
Masyarakat Jawa mengenal berbagai tradisi untuk menyambut malam ini, seperti kirab Kebo Kyai Slamet di Surakarta, ziarah ke makam leluhur, hingga ritual siraman.
Lalu, dari mana asal usul malam 1 Suro, dan apa saja mitos larangan yang diyakini masyarakat?
Asal-Usul Malam 1 Suro
Dalam kajian Makna Ritual Penyembelihan Kambing Kendhit dalam Tradisi Suroan di Desa Puhjajar, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri (2020), dijelaskan bahwa istilah “Suro” berasal dari kata Arab Asyura, yang berarti sepuluh—merujuk pada tanggal 10 Muharram.
Dalam Islam, Muharram merupakan bulan pertama yang disucikan.
Malam 1 Suro mulai diperingati sejak tahun 1633 M, ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram menciptakan Kalender Jawa.
Kalender ini menggabungkan sistem penanggalan Islam dengan tradisi lokal.
Tanggal 1 Suro ditetapkan sebagai awal tahun Jawa, sekaligus menandai Tahun Baru Saka. Sultan Agung menciptakan penanggalan ini demi menyatukan rakyat dan kerajaan, terutama di masa sulit ketika Mataram menghadapi ancaman.
Karena itu, ia tidak lagi menggelar upacara kerajaan Rajawedha, melainkan menggantinya dengan upacara 1 Suro yang juga merangkul praktik spiritual kaum petani, Gramawedha.
Malam 1 Suro kemudian menjadi simbol momen spiritual yang dianggap suci dan sakral. Tujuannya adalah untuk mawas diri, menjaga kewaspadaan (eling lan waspodo), dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Mitos yang Dihindari di Malam 1 Suro
Sebagai malam yang disakralkan, banyak orang Jawa meyakini sejumlah pantangan yang tidak boleh dilakukan di malam 1 Suro. Dikutip dari Kompas TV (18/7/2023), berikut lima mitos larangan yang dipercaya oleh masyarakat:
1. Tidak Boleh Keluar Rumah bagi Weton Tertentu
Masyarakat Jawa percaya bahwa individu dengan weton tertentu sebaiknya tidak keluar rumah pada malam 1 Suro.
Diyakini bahwa malam ini adalah waktu yang digunakan oleh okultis untuk mencari tumbal demi kekayaan atau kesaktian. Maka, mereka yang nekat keluar rumah dikhawatirkan bisa menjadi sasaran tumbal.
2. Dilarang Bersuara atau Membuat Kebisingan
Ritual bisu adalah tradisi yang dilakukan di beberapa wilayah, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Dalam ritual ini, peserta tidak diperbolehkan bicara, makan, minum, atau merokok, layaknya sedang berpuasa. Semua dilakukan dalam keheningan total sebagai bentuk refleksi spiritual.
3. Tidak Menyelenggarakan Pernikahan
Menikah atau mengadakan pesta pernikahan pada bulan Suro, terutama malam 1 Suro, dianggap membawa sial. Walau tidak berdasar pada ajaran Islam, kepercayaan ini tetap hidup sebagai bagian dari tradisi.
4. Pantang Pindah Rumah
Malam 1 Suro dianggap bukan waktu yang tepat untuk pindah rumah. Konon, hal ini bisa membawa musibah atau kesialan bagi penghuni rumah baru.
5. Tidak Membangun Rumah
Melansir Kompas.com (17/3/2023), memulai pembangunan rumah pada malam 1 Suro diyakini bisa mendatangkan kesialan, seperti penyakit, penderitaan, atau rezeki yang seret.
Pendapat Budayawan: Mitos Terbentuk Secara Bertahap
Tundjung W. Sutirto, budayawan sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS), menjelaskan bahwa mitos-mitos malam 1 Suro berkembang secara akumulatif.
Menurutnya, semua ini bermula dari pensakralan yang lahir dari penyatuan kalender Islam dan Jawa.
"Jadi momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malam Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," kata Tundjung kepada Kompas.com, Kamis (13/7/2023).
Sifat sakral tersebut, lanjut Tundjung, mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai bentuk laku spiritual saat menyambut pergantian tahun.
Dari situlah muncul mitos-mitos seperti tidak boleh keluar rumah, tidak menggelar pesta pernikahan, hingga larangan pindah rumah.
Tundjung juga menambahkan bahwa mitos-mitos tersebut tidak bisa dipahami sebagai satu peristiwa tunggal, melainkan sebagai proses yang berkembang mengikuti konteks zaman.
"Kalau dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terangnya.
Sebagai contoh, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru dimulai tahun 1974 atas permintaan Presiden Soeharto kepada Paku Buwono XII.
Tujuannya adalah memohon keselamatan bangsa agar terhindar dari bencana.
Kendati bukan berasal dari masa kerajaan, Tundjung menegaskan bahwa esensi dari mitos-mitos ini adalah pembentukan sikap mawas diri.
"Semua mitos tentang malem Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," pungkasnya.