Malam Satu Suro di Yogyakarta: Ritual Tapa Bisu hingga Bubur Suran Penuh Makna

malam Satu Suro, Satu Suro, Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, Tapa Bisu, Bubur Suran, yogyakarta, bubur suran, tapa bisu, Malam Satu Suro, Malam Satu Suro di Yogyakarta: Ritual Tapa Bisu hingga Bubur Suran Penuh Makna, Apa itu Satu Suro?, Bulan penuh keheningan dan laku pribadi, Tradisi Keraton Yogyakarta, Lampah Ratri dan simbol kesyukuran

Saat malam pergantian tahun Masehi identik dengan kembang api dan pesta, masyarakat Jawa memiliki cara sendiri yang jauh lebih tenang dan sarat makna.

Tradisi itu bernama malam Satu Suro, momen khusus untuk merefleksikan diri dalam keheningan.

Apa itu Satu Suro?

Dilansir dari laman Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Satu Suro adalah hari pertama dalam bulan Suro pada penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.

Namun, bagi masyarakat Jawa, maknanya lebih dari sekadar penanggalan. Bulan ini dianggap suci dan menjadi awal dari siklus baru yang diyakini mengandung energi spiritual.

Sistem kalender Jawa sendiri merupakan hasil karya Sultan Agung Hanyakrakusuma dari era Kerajaan Mataram Islam, yang menggabungkan unsur Islam dengan kebudayaan lokal.

Dari sistem inilah muncul bulan Suro, bulan yang dipenuhi dengan nilai-nilai spiritual dan kesadaran batin.

Bulan penuh keheningan dan laku pribadi

Berbeda dari perayaan tahun baru pada umumnya, bulan Suro tidak dirayakan dengan kemeriahan. Masyarakat Jawa justru menghindari acara besar atau pesta yang ramai.

Bukan karena aturan ketat, melainkan karena bulan ini dimaknai sebagai waktu untuk menahan diri dan melakukan introspeksi.

Berbagai kegiatan dijalani dengan penuh kesederhanaan—mulai dari berdiam diri, menyepi, hingga melakukan ritual pribadi seperti membersihkan benda pusaka atau menyantap makanan sederhana sebagai bentuk syukur.

Tradisi Keraton Yogyakarta

Di lingkungan Keraton Yogyakarta, bulan Suro diawali dengan upacara sakral yang disebut Jamasan Pusaka.

Dalam ritual ini, benda-benda pusaka seperti keris, gamelan, dan kereta disucikan dengan air sebagai simbol pelestarian warisan budaya sekaligus penghormatan kepada leluhur.

Puncaknya adalah ritual Mubeng Beteng, yaitu prosesi mengelilingi benteng keraton sepanjang 4 kilometer dalam keheningan penuh. Peserta berjalan tanpa alas kaki dan tidak berbicara, menjalani ritual Tapa Bisu untuk mendekatkan diri pada alam dan memperdalam makna batin.

Lampah Ratri dan simbol kesyukuran

Di Pura Pakualaman, digelar prosesi sejenis bernama Lampah Ratri. Peserta mengitari kawasan kadipaten dalam gelap malam sebagai bentuk permohonan perlindungan dan kekuatan dalam menjalani tahun yang baru.

Setelah berbagai ritual tersebut, masyarakat menikmati sajian khas berupa Bubur Suran—bubur putih manis gurih dengan tujuh jenis kacang. Hidangan ini mengandung filosofi keseimbangan hari-hari dalam sepekan, dan menjadi simbol rasa syukur atas kehidupan.

Tradisi Satu Suro tak sekadar kebiasaan turun-temurun. Ia menjadi pengingat bahwa dalam kehidupan yang penuh kesibukan, manusia perlu memberi ruang untuk diam, mendengarkan suara batin, dan menyusun kembali langkah ke depan dengan lebih sadar dan tenang.