Makna Malam 1 Suro: Antara Tradisi Jawa dan Nilai Spiritual Islam

Malam 1 Suro, yang bertepatan dengan malam 1 Muharram dalam kalender Hijriah, menyimpan makna mendalam bagi masyarakat Jawa.
Bukan sekadar penanda pergantian tahun, malam ini dipercaya sebagai momen sakral yang penuh dengan nuansa spiritual dan mistik.
Dilansir dari Antaranews, pada tahun 2025, malam 1 Suro jatuh pada Kamis malam, 26 Juni, mulai pukul 18.00 WIB atau selepas Maghrib.
Adapun tanggal 1 Suro bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2025, yang juga merupakan 1 Muharram 1447 H dan ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Istilah “Suro” sendiri berasal dari kata Arab “Asyura” yang berarti sepuluh, merujuk pada tanggal 10 Muharram.
Dalam tradisi Jawa, istilah ini mengalami penyesuaian pelafalan hingga menjadi “Suro”.
Kalender Jawa yang menyatukan unsur Islam dan budaya lokal dikenalkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram, pada Jumat Legi bulan Jumadil Akhir 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.
Tujuan utamanya adalah menyatukan kelompok santri dan abangan melalui pendekatan spiritual dan budaya.
Tradisi dan Ritual Malam 1 Suro
Malam 1 Suro diyakini sebagai waktu di mana batas antara dunia manusia dan dunia gaib menjadi tipis.
Oleh sebab itu, masyarakat Jawa menjalani malam tersebut dengan berbagai bentuk tirakat dan ritual spiritual.
Kegiatan seperti ziarah kubur, doa bersama, tapa bisu, hingga selametan masih dilakukan hingga kini.
Banyak yang mempercayai bahwa arwah leluhur turun ke dunia pada malam tersebut untuk memberikan berkah dan perlindungan.
Tradisi ini juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk melakukan refleksi diri, memperkuat ikatan dengan Tuhan, serta memohon keselamatan dan ketenangan batin.
Larangan yang Berlaku di Malam Satu Suro
Seiring dengan kesakralannya, masyarakat Jawa juga memegang teguh sejumlah larangan yang dianggap dapat menghindarkan dari bala atau gangguan makhluk halus.
Beberapa di antaranya adalah:
1. Larangan Keluar Rumah
Masyarakat percaya bahwa malam 1 Suro merupakan waktu rawan, terutama bagi orang dengan weton tertentu. Malam ini diyakini digunakan oleh dukun atau pelaku pesugihan untuk mencari tumbal.
2. Tidak Boleh Berisik atau Bicara
Di beberapa wilayah seperti Keraton Yogyakarta, dilakukan ritual tapa bisu: diam total tanpa bicara, makan, minum, atau merokok. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk keheningan batin dan laku spiritual.
3. Tidak Menggelar Pesta atau Pernikahan
Menggelar hajatan seperti pernikahan pada malam 1 Suro dipercaya bisa membawa petaka. Tradisi ini telah diwariskan sejak masa Sultan Agung yang menganjurkan masyarakat untuk menyepi dan berdoa di malam tersebut.
4. Larangan Pindah Rumah
Pindah rumah saat malam 1 Suro diyakini dapat mengundang kesialan. Oleh karena itu, masyarakat menghindari segala bentuk aktivitas berpindah tempat tinggal pada malam itu.
Malam 1 Suro, Warisan Budaya yang Sarat Makna
Terlepas dari berbagai mitos dan pantangan, malam 1 Suro menjadi momen untuk melakukan laku prihatin: menyucikan hati, menjauhi hawa nafsu, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.
Kebijakan Sultan Agung dalam menciptakan kalender Jawa-Islam adalah upaya menyatukan nilai kejawen dan Islam, yang hingga kini masih diwariskan melalui kegiatan seperti ziarah dan pengajian setiap Jumat Legi.
Apabila malam 1 Suro bertepatan dengan Jumat Legi, masyarakat Jawa meyakini bahwa kesakralannya menjadi berlipat. Dalam kondisi seperti itu, hari tersebut hanya digunakan untuk kegiatan religius.