Sejarah Bubur Suro dan Kisah Nabi Nuh

bubur Suro, bubur, bubur Suro adalah, Bubur, Bubur Suro, Nabi Nuh, bubur suro, bubur suro adalah, sejarah bubur suro, bubur suro asli Jawa, Sejarah Bubur Suro dan Kisah Nabi Nuh

Menyambut Tahun Baru Islam 1447 Hijriah, masyarakat di berbagai daerah di Indonesia merayakan Malam 1 Suro atau 1 Muharram dengan beragam tradisi. Di kalangan masyarakat Jawa, salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga kini adalah menyajikan bubur Suro, sajian khas yang sarat makna dan filosofi.

Berbeda dari anggapan sebagian orang, bubur Suro bukanlah sesajen atau persembahan yang berkaitan dengan hal-hal mistik atau animisme.

Sebaliknya, bubur ini merupakan simbol atau "uba rampe" dalam budaya Jawa yang digunakan untuk menyambut datangnya bulan Suro—bulan pertama dalam kalender Jawa—yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

"Konon ini kan sudah ada sejak Sultan Agung bertahta di Jawa, terlepas dari apapun itu tentu bubur Suro ini merupakan refleksi dari masyarakat Jawa atas berkah dan rezeki yang diberikan Allah SWT kepada mereka," ujar Arie Novan, pemerhati budaya Jawa. 

Secara historis, bubur Suro dihidangkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hidangan ini menggambarkan harapan dan doa masyarakat Jawa agar diberikan kelancaran, kesehatan, dan berkah dalam menyongsong tahun yang baru.

Menurut Arie, seperti halnya makanan yang disajikan dalam berbagai upacara adat Jawa, bubur Suro adalah bentuk ekspresi budaya yang mengakar kuat dan diwariskan secara turun-temurun.

"Bubur ini bukan sekadar makanan, tapi simbol. Ada pesan spiritual dan sosial di dalamnya," kata Arie.

Bubur Suro terbuat dari beras yang dimasak dengan santan serta aneka rempah tradisional seperti serai dan daun salam. Berbeda dari bubur putih biasa, bubur Suro memiliki rasa gurih dan kaya aroma.

Setiap daerah di Jawa memiliki varian tersendiri dalam penyajian bubur ini, namun secara umum terdapat elemen khas, yakni disajikan dengan kuah santan kuning dan berbagai lauk seperti tahu, orek tempe, teri goreng, telur, serta tujuh jenis kacang.

Tujuh Jenis Kacang dan Jejak Sejarah Nabi Nuh

Salah satu unsur unik dari bubur Suro adalah keberadaan tujuh jenis kacang dalam sepiring hidangan.

Umumnya terdiri dari kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang mede, dan jenis lainnya, angka tujuh ini melambangkan tujuh hari dalam sepekan, dengan harapan agar setiap harinya penuh dengan kelimpahan dan kebaikan.

Sebagai pelengkap, bubur ini juga ditaburi suwiran jeruk Bali dan buah delima, yang menambah cita rasa asam serta memperkaya simbolik spiritual dalam sajian.

"Bagi masyarakat Jawa, menyantap bubur Suro dengan tujuh jenis kacang merupakan bentuk doa agar hidup selalu diberkahi, dari hari Senin hingga Minggu," kata Arie.

Dalam sejumlah referensi kitab kuno seperti Nihayatuz Zain (Syekh Nawawi Banten), Nuzhalul Majelis (Syekh Abdul Rahman Al-Usfuri), dan Jam'ul Fawaid (Syekh Daud Fatani), disebutkan bahwa bubur Suro juga memiliki akar kisah dari peristiwa Nabi Nuh AS.

Diceritakan dalam kitab tersebut, terciptanya bubur suro kala itu untuk memperingati hari di mana Nabi Nuh selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda dunia saat itu.

Cerita bermula pada saat itu Nabi Nuh sedang bertanya kepada para sahabat apakah masih ada makanan sisa di dalam kapal lalu sahabat menjawab "Masih ada ya nabi".

Ia menyebutkan bahan makanan yang tersisa ada kacang poi, kacang adas, ba'ruz, tepung, dan kacang hinthon. Bahan tersebut lalu dimasak bersamaan. Di sinilah cikal bakal terbentuknya santapan lezat tersebut.

Hingga kini, bubur Suro masih dapat dijumpai di berbagai daerah di Jawa, terutama di wilayah Jawa Timur seperti Madura, serta sejumlah kota di Jawa Tengah seperti Yogyakarta, Solo, dan Semarang.

Bukan hanya disajikan di rumah bersama keluarga, bubur ini juga sering dibagikan secara massal di masjid-masjid sebagai bentuk sedekah dan berbagi rezeki kepada masyarakat yang membutuhkan.

“Sekarang tentu tidak hanya yang disebutkan tadi, bubur Suro terkadang dibagikan massal di beberapa masjid di Pulau Jawa. Jadi bukan mistisnya saja yang orang awam tahu, tapi sekarang dibagikan sebagai wujud berbagi rezeki kepada yang membutuhkan,” pungkas Arie.