Bulan Safar: Di Balik Sejarah, Mitos, dan Ajaran Islam yang Mencerahkan

Bulan Safar, yang menempati urutan kedua dalam kalender Hijriah, sejak dahulu sering dikaitkan dengan hal-hal negatif, mulai dari anggapan bulan sial hingga penyakit misterius.
Keyakinan tersebut telah hidup di tengah masyarakat Arab pra-Islam selama berabad-abad.
Namun, kedatangan Islam menjadi titik balik yang tegas. Rasulullah SAW membantah seluruh anggapan yang tidak memiliki dasar tersebut, sekaligus menegaskan bahwa setiap bulan adalah ciptaan Allah dan tak satu pun membawa kesialan.
Asal-usul penamaan Safar
Sejarah penamaan Safar berakar dari tradisi masyarakat Arab kuno. Dalam keterangan Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul ‘Arab, kata “Safar” berasal dari kata shafar yang berarti “kosong”, atau shufrah yang berarti “kuning”.
Nama ini muncul karena banyak orang pada masa itu meninggalkan rumahnya untuk bepergian atau berperang, sehingga permukiman menjadi kosong. Hal ini juga tercatat dalam kitab al-Mufasshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, di mana disebutkan ungkapan populer saat itu:
“Shafira an-nasu minna shafaran” — “Orang-orang meninggalkan kami karena kami miskin dan tak punya apa-apa.”
Mitos dan keyakinan yang salah kaprah
Dalam budaya Arab Jahiliyah, Safar dianggap bulan penuh musibah. Muncul berbagai keyakinan, seperti anggapan bahwa Safar adalah nama penyakit yang menyerang perut, atau angin panas yang menyebabkan orang jatuh sakit. Beberapa bahkan menghindari acara penting seperti pernikahan selama bulan ini karena takut tertimpa kesialan.
Namun semua anggapan itu tidak memiliki landasan syar’i dan kemudian dibantah secara langsung oleh Rasulullah SAW melalui berbagai hadis sahih.
Rasulullah SAW Meluruskan Mitos
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada penyakit menular (yang terjadi tanpa izin Allah), tidak ada hantu, dan tidak ada safar (yang membawa sial).” (HR Muslim, no. 4120)
Hadis lain dari riwayat Bukhari (no. 5278) juga menegaskan:
“Tidak ada 'adwa (penularan mandiri), tidak ada safar, dan tidak ada hammah (roh gentayangan).”
Ketika seorang Badui bertanya mengapa penyakit menular dari unta satu ke unta lain, Rasulullah menjawab dengan logika tauhid:
“Siapa yang menularkan unta yang pertama?” — menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi karena takdir Allah, bukan karena kekuatan gaib atau bulan tertentu.
Pandangan Islam: setiap bulan penuh hikmah
Dalam Islam, tidak ada bulan yang dianggap sial ataupun sakral secara mutlak—semuanya adalah ciptaan Allah. Hal ini ditegaskan dalam QS. At-Taubah: 36:
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan...”
Ayat ini menunjukkan bahwa semua bulan, termasuk Safar, memiliki kedudukan yang sama dalam pandangan Islam. Tidak ada waktu yang buruk selama kita mengisinya dengan kebaikan.
Safar, momentum ibadah dan amal saleh
Meskipun tidak ada ibadah khusus yang dianjurkan di bulan Safar, umat Islam tetap didorong untuk memperbanyak amal baik seperti:
- Shalat sunnah
- Puasa sunnah (Senin-Kamis atau Ayyamul Bidh)
- Membaca Al-Qur'an
- Dzikir dan doa
- Sedekah dan membantu sesama
Bulan Safar juga bisa menjadi waktu untuk meningkatkan tawakal, memperkuat keyakinan bahwa hanya Allah yang menentukan takdir, serta menjauhi segala bentuk syirik atau kepercayaan mistis.
Peristiwa penting dalam Sejarah Islam
Beberapa peristiwa besar dalam sejarah Islam terjadi pada bulan Safar, di antaranya:
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah dimulai pada akhir bulan Safar.
Perang Khaybar, yang menjadi salah satu kemenangan penting bagi umat Islam, juga terjadi pada bulan Safar tahun ke-7 Hijriyah.
Peristiwa-peristiwa ini membuktikan bahwa bulan Safar bukan bulan sial, justru menjadi bagian dari momen bersejarah yang menguatkan perjuangan umat Islam.