Memaafkan Diri Sendiri

ADA tradisi dan budaya yang baik setiap kali umat Muslim Indonesia merayakan Hari Raya Idul Fitri, yaitu tradisi saling memaafkan.
Pada saat Idul Fitri, umat Muslim, bahkan hampir semua masyarakat Indonesia dari berbagai agama, akan saling mengunjungi tetangga, sanak sudara, sahabat, dan handai taulan untuk bermaaf-maafan.
Tradisi dan budaya saling bermaaf-maafan adalah sesuatu yang baik. Melalui tradisi ini kualitas relasi sosial dapat ditingkatkan; relasi yang awalnya telah renggang atau rusak juga dapat kembali dipulihkan.
Saling meminta maaf dan memaafkan adalah pembuka relasi interpersonal yang lebih lekat antarsesama manusia.
Hanya saja sering orang lupa bahwa selain relasi interpersonal, ada pula relasi intrapersonal. Jika relasi interpersonal adalah relasi manusia dengan manusia lainnya; maka relasi intrapersonal adalah relasi manusia dengan dirinya sendiri.
Terkait dengan relasi intrapersonal inilah orang sering lupa dan abai.
Seperti halnya kualitas relasi interpersonal yang dapat memengaruhi kualitas dan kesejahteraan diri; kualitas relasi intrapersonal juga dapat memengaruhi kualitas dan kesejahteraan diri sendiri.
Psikologi melihat bahwa perilaku meminta maaf dan memaafkan tidak hanya harus ada dalam dimensi interpersonal, tetapi juga perlu ada dalam dimensi intrapresonal.
Apabila menggunakan bahasa lain, maka manusia tidak hanya perlu meminta maaf dan memaafkan manusia yang lain, tetapi manusia juga perlu meminta maaf dan memaafkan dirinya sendiri. Konsep seperti ini di psikologi dikenal dengan konsep “self-forgiveness”.
“Self-forgiveness” atau pengampunan diri adalah kemampuan dan kemauan individu untuk memberi ampun atas kesalahan dirinya sendiri; dan tidak lagi menganggap dirinya bersalah.
Seperti halnya memaafkan orang lain, memaafkan diri sendiri juga bukan sesuatu yang mudah. Selain itu, sama seperti setelah memaafkan orang lain, setelah memaafkan diri sendiri orang juga akan merasa damai.
Byung-Chul Han, dalam buku "The Burnout Society" (2015), menggambarkan bahwa manusia saat ini adalah manusia yang hidup dalam komunitas yang menjunjung tinggi prestasi.
Manusia-manusia yang hidup di dalam bingkai validasi prestasi akan cenderung keras dengan diri sendiri; termasuk saat dirinya dianggap gagal atau tidak berprestasi, oleh dirinya sendiri.
Manusia-manusia semacam ini mudah menyalahkan diri sendiri, dan tidak mudah memaafkan diri sendiri saat kegagalan terjadi.
Dampak yang paling mudah dilihat adalah diri yang mudah sakit, “overthinking”, sulit melepaskan impian yang tidak tercapai, demotivasi, perilaku menunda-nunda, sulit merelakan hal indah yang tidak mungkin lagi dimiliki, sulit merelakan kehilangan, dan mudah terpleset kedalam sumur gelap depresi.
Ketidakmampuan manusia untuk memaafkan diri sendiri akan berujung pada memburuknya kualitas hidup, kesejahteraan psikologis, dan kesehatan diri sendiri.
Hall dan Fincham (2005) memaparkan bahwa ada tiga langkah penting untuk memaafkan diri sendiri.
Pertama, Individu harus mengakui telah melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap diri sendiri. Langkah pertama ini termasuk dengan kesediaan untuk menerima konsekuensi dan tanggungjawab dari kesalahan atau pelanggaran tersebut.
Kedua, individu harus menerima dan mengalami perasaan bersalah dan menyesal yang muncul.
Pada langkah ini individu sebaiknya tidak memberontak atas perasaan bersalah yang muncul tersebut; melainkan memahami hal apa yang paling dasar, yang membuatnya merasa bersalah saat mengalami kegagalan.
Ketiga, individu haraus mengatasi perasaan gagal dengan memunculkan optimisme di dalam diri; optimisme bahwa ia dapat bangkit kembali dan bahwa hidupnya tidak sama dengan sesuatu hal yang gagal tersebut.
Pada langkah ini kemampuan memotivasi diri dan kemampuan untuk menetapkan target yang baru (beserta dengan startegi pencapaiannya) menjadi hal penting.
Tiga langkah tersebut disusun berdasarkan pemahaman bahwa kesalahan dan kegagalan itu bersifat subjektif dan personal; oleh karena itu memaafkan diri sendiri akan lebih sulit karena setiap inidvidu harus berhadapan dan berdamai dengan dirinya sendiri.
Hanya saja, individu yang telah berhasil memaafkan dan berdamai dengan dirinya akan lebih mudah untuk melentingkan kehidupannya.
Semoga momentum Idul Fitri dapat menjadi pengingat bahwa setiap orang tidak hanya perlu meminta maaf dan memaafkan orang lain; tetapi juga perlu meminta maaf dan memaafkan diri sendiri; karena memaafkan diri sendiri akan membawa manusia menuju fitrah guna mencapai sesuatu yang fitri.