Mantan Kapolres Ngada Diduga Gunakan Nama “Fandi” untuk Cari Anak di Bawah Umur

Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Lukman, diduga menggunakan nama samaran “Fandi” saat mencari anak di bawah umur untuk tujuan asusila.
Dugaan ini diungkapkan kuasa hukum tersangka Stefani alias Fani (20), dalam pemeriksaan tahap II oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Kota Kupang, Kamis (12/6/2025).
Fani merupakan tersangka dalam kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang menyeret nama AKBP Fajar Lukman. Ia diduga berperan sebagai penyedia anak-anak bagi Fajar.
“Dalam pemeriksaan tadi, klien kami menjawab benar seluruh isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ia juga menyatakan tidak pernah mengalami tekanan atau paksaan selama proses penyidikan,” ujar kuasa hukum Fani, Melzon Beri, kepada wartawan, Kamis siang.
Awal Perkenalan dengan Nama Samaran
Melzon menyebutkan, awalnya Fani mengenal Fajar Lukman hanya dengan nama “Fandi”. Saat itu, Fani hanya mengetahui bahwa pria bernama Fandi tersebut adalah seorang anggota polisi, tanpa menyadari identitas aslinya sebagai mantan Kapolres Ngada.
Pertemuan antara Fani dan Fajar Lukman diduga difasilitasi oleh seorang perempuan yang berperan sebagai perantara. Perempuan tersebut menghubungi Fani melalui aplikasi WhatsApp dan memintanya untuk menemani Fajar.
“Nama perantara itu tidak disebutkan langsung oleh klien kami, namun sudah tercantum dalam BAP,” jelas Melzon.
Setelah pertemuan langsung, Fani mengetahui bahwa “Fandi” memiliki ketertarikan terhadap anak-anak di bawah umur.
Ia kemudian diminta untuk membawa tiga anak kepada Fajar Lukman. Peristiwa dugaan eksploitasi seksual dan pencabulan terhadap anak itu terjadi di salah satu hotel di Kota Kupang.
Melzon berharap proses persidangan akan mengungkap lebih banyak fakta dan menyeret pihak-pihak lain yang diduga turut terlibat dalam praktik kejahatan seksual tersebut.
“Kami berharap pengadilan bisa membuka tabir keterlibatan aktor lain, termasuk perantara yang menjembatani pertemuan antara Fani dan Fajar,” katanya.
Pasal yang Dikenakan ke Fani
Dalam kasus ini, Fani dijerat dengan sejumlah pasal berat, antara lain:
Pasal 81 Ayat (2) dan/atau Pasal 82 Ayat (1) jo Pasal 76E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2016.
Pasal ini memuat ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda maksimal Rp 5 miliar.
Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur soal eksploitasi seksual, dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun atau denda maksimal Rp 300 juta.
Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 10 jo Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman pidana penjara 3 hingga 15 tahun serta denda antara Rp 120 juta hingga Rp 600 juta.
Jaksa Raka Putra Dharmana menjelaskan bahwa penjeratan pasal dilakukan secara alternatif berdasarkan alat bukti dan konstruksi hukum yang ada.
“Nantinya jaksa akan menilai pasal mana yang paling tepat untuk dibuktikan di persidangan,” kata Raka.
Ditahan di Lapas Perempuan Kupang
Fani sebelumnya telah ditahan sejak 24 Maret 2025 dan masa penahanannya telah beberapa kali diperpanjang.
Usai pelimpahan tahap II pada 12 Juni 2025, JPU kembali melakukan penahanan terhadap Fani di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Kupang.
“Penahanan dilakukan selama 20 hari ke depan, mulai 12 Juni hingga 1 Juli 2025,” ujar Raka.
Kasus ini terus menjadi sorotan publik karena menyeret perwira menengah polisi dalam dugaan serius tindak pidana seksual terhadap anak serta perdagangan orang, yang mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kasus Pelecehan Anak di Kupang NTT: Mantan Kapolres Ngada Ngaku Sebagai Fandi kepada Fani