"Seandainya Bukan Karena Wajah Ibu Saya Pribumi, Saya Sudah Jadi Korban Perkosaan"

Komnas Perempuan, kekerasan seksual, Mei 1998, Andi Yentriyani, komnas perempuan, Kekerasan Seksual, korban pemerkosaan Mei 1998,

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menyusun dan menerbitkan sebuah laporan mengenai kekerasan seksual yang terjadi pada bulan Mei 1998, serta dampak yang dirasakan sepuluh tahun setelahnya.

Buku yang dirilis pada tahun 2008 ini disusun oleh tim yang dipimpin oleh Andi Yentriyani, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komnas HAM RI untuk periode 2020-2025.

Dalam buku tersebut, Andi Yentriyani menguraikan siapa saja yang menjadi korban kekerasan seksual selama peristiwa tersebut.

Salah satu korban mengungkapkan pengalamannya, di mana ia selamat dari pemerkosaan karena ibunya adalah seorang pribumi, yang membuat pelaku menghentikan aksinya saat ia berteriak dalam bahasa Bugis.

"Seandainya bukan karena wajah ibu saya yang pribumi, saya mungkin sudah menjadi korban pemerkosaan hari itu. Pengalaman tersebut tidak pernah saya laporkan, dan kami hampir tidak membicarakannya di rumah. Kini, meskipun saya bisa menceritakan pengalaman ini, tetap saja ada rasa dingin saat tangan saya dipegang," ungkap salah satu korban percobaan pemerkosaan dalam buku tersebut.

Laporan ini juga menceritakan pengalaman seorang wanita yang menjadi korban pemerkosaan di dalam taksi.

Ia terpaksa keluar tanpa busana dan mencari pertolongan dari warga sekitar untuk mendapatkan pakaian.

Meskipun korban berusaha melanjutkan pekerjaannya, trauma dari peristiwa tersebut tetap membekas, dan ia mengalami disfungsi, seperti ketidakmampuan untuk memasak meskipun sering berbelanja.

Suaminya pun mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa istrinya telah menjadi korban kekerasan seksual.

Setelah beberapa waktu, suaminya akhirnya menerima kenyataan tersebut, tetapi mereka memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan mengubah identitas mereka, serta menghentikan komunikasi dengan pendamping.

Siapa saja korbannya?

Menurut laporan, mayoritas korban adalah perempuan, dengan rentang usia yang bervariasi, mulai dari anak-anak hingga wanita dewasa berusia antara lima hingga lima puluh tahun.

Para korban ini berasal dari berbagai latar belakang, termasuk lajang, menikah, pekerja, pelajar, dan ibu rumah tangga.

Laporan tersebut menekankan bahwa banyak dari korban adalah perempuan etnis Tionghoa.

Penyerangan dan penjarahan yang terjadi pada Mei 1998 umumnya terjadi di area yang dihuni oleh komunitas Tionghoa, sehingga menimbulkan anggapan bahwa penyerangan tersebut adalah tindakan terarah terhadap etnis tertentu.

Memilih tidak bicara

Buku ini menekankan bahwa bagi banyak keluarga korban, kejadian kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, adalah sebuah realitas yang sulit diterima dan seringkali menimbulkan ketegangan dalam keluarga.

Di dalam buku tersebut juga diungkapkan bahwa banyak korban memilih untuk tidak berbicara tentang pengalaman mereka, bukan karena peristiwa tersebut dianggap sebagai rumor, melainkan karena adanya ancaman yang nyata, termasuk dari lingkungan terdekat mereka.

"Keputusan perempuan untuk tetap diam sangat dipengaruhi oleh sikap orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga," jelas buku itu.

Sebagai tambahan informasi, Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sebanyak 52 kasus pemerkosaan yang terjadi selama kerusuhan pada 13-15 Mei 1998.

Kasus-kasus ini dikategorikan sebagai pemerkosaan massal, yang diduga terjadi secara sistematis.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "",