"Enggano Sedang Tidak Baik-baik saja! Mana Tanggung Jawab Pemerintah?"

Sudah empat bulan terakhir warga Pulau Enggano, Bengkulu, hidup dalam keterasingan. Krisis transportasi akibat pendangkalan di Pelabuhan Pulau Baai membuat ratusan petani tak bisa menjual hasil panen.
Akibatnya, pisang—komoditas utama warga—membusuk di kebun, sementara ekonomi rumah tangga lumpuh total.
Iwan, salah seorang warga Desa Malakoni, Pulau Enggano, mengungkapkan keputusasaannya. Ratusan tandan pisang miliknya kini tak laku dan membusuk, karena tak ada kapal angkutan menuju Bengkulu.
Ia pun kehilangan satu-satunya sumber penghasilan untuk menafkahi istri dan tiga anaknya.
“Mungkin pisang tak semahal nikel, sehingga pemerintah pusat tak begitu pedulikan Pulau Enggano dibanding eksploitasi nikel seperti di Papua,” kata Iwan dalam keterangan yang diterima Kompas.com dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, Minggu (22/6/2025).
Harga Pisang Anjlok, Anak Tak Bisa Kirim Uang
Iwan biasa mengirim uang sebesar Rp 300.000 setiap dua minggu kepada anak-anaknya yang sedang bersekolah di Kota Bengkulu.
Namun, sejak kapal ferry Pulo Tello berhenti beroperasi, pengiriman hasil panen menjadi mustahil. Ia menolak menjual pisangnya kepada kapal pedagang yang sempat datang karena harga yang ditawarkan sangat rendah.
“Kalau dititip ke kapal tauke dari Bengkulu, harga pisang cuma Rp 20.000 per tandan. Harga normalnya Rp 55.000. Ya rugi, lebih baik dibiarkan busuk,” ujarnya.
Karena tak ada pemasukan, Iwan kini bekerja serabutan. Mulai dari jadi buruh proyek hingga ikut melaut untuk bertahan hidup.
“Mungkin pisang bagi sebagian orang cuma hasil kebun biasa. Tapi buat kami, ini cara hidup. Empat bulan tanpa kapal, artinya empat bulan tanpa uang,” ungkapnya.
Warga Enggano Krisis Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan
Warga Pulau Enggano, Bengkulu nekat menyewa kapal nelayan secara patungan agar hasil bumi bisa dijual ke luar pulau.
Dampak krisis transportasi tak hanya memukul sektor ekonomi, tapi juga pendidikan dan kesehatan. Banyak anak-anak yang bersekolah di luar pulau tak lagi mendapat kiriman uang dari orangtua.Warga bahkan terpaksa menyuruh anak-anaknya lebih berhemat tanpa tahu kapan situasi akan kembali normal.
Tak hanya itu, layanan kesehatan di Pulau Enggano pun terganggu. Satu-satunya pesawat perintis kerap penuh, sementara kapal laut tidak bisa bersandar ke dermaga karena pendangkalan.
Baru-baru ini, seorang pasien dilaporkan tak sadarkan diri selama delapan jam sebelum akhirnya dievakuasi menggunakan kapal selama 12 jam menuju Bengkulu.
“Kami bukan hanya susah makan, tapi juga susah kirim orang sakit. Kalau kapal bisa jalan normal, hidup kami akan lebih layak,” tambah Iwan.
Pendangkalan Pelabuhan, Transportasi Laut Lumpuh
Berdasarkan laporan AMAN, pendangkalan di Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu, sudah terjadi selama delapan bulan terakhir.
Kapal dari dan ke Pulau Enggano tak lagi bisa bersandar ke dermaga dan terpaksa menurunkan penumpang di tengah laut. Penumpang lalu diangkut dengan kapal kecil ke daratan.
Namun, metode ini tak memungkinkan untuk angkutan barang. Akibatnya, pengiriman hasil bumi seperti pisang, kakao, pinang, daun pisang, dan ikan ekspor pun terhenti sejak Maret 2025.
“Untuk apa panen, kalau harga pisang sekarang cuma Rp 20.000 per tandan. Biaya tebang dan angkut saja Rp 15.000. Rugi,” kata Milson Kaitora, pimpinan kepala suku di Enggano.
Milson menyebut hanya petani yang punya koneksi dengan tauke besar di Bengkulu yang masih bisa menjual hasil panennya. Sementara mayoritas warga memilih membiarkan panen mereka busuk di kebun.
“Kalau tak punya relasi dengan pembeli tetap, ya tidak bisa jual. Kapasitas kapal nelayan itu juga kecil, tidak cukup menampung hasil semua petani,” imbuhnya.
Warung Sepi, Tagihan PDAM Menumpuk
Dampak lanjutan dari isolasi ini juga terasa di sektor perdagangan. Yudi, seorang pemilik warung besar di Desa Meok, mengaku omzet warungnya yang biasa mencapai Rp 10 juta kini tinggal separuh.
“Tidak ada yang belanja. Yang ada malah utang-utang yang belum dibayar,” katanya.
Hal serupa dirasakan Harun Kaarubi, mantan tokoh adat setempat. Ia mengaku menunggak tagihan PDAM selama empat bulan karena kehilangan pemasukan.
“Mungkin bisa dikasih keringanan, didiskon atau ditunda dulu. Tagihan makin menumpuk,” ucap Harun.
Susi, ibu rumah tangga di Malakoni, mengatakan kini ia hanya bisa membeli token listrik setengah dari biasanya.
“Yang penting lampu nyala dulu. Mau bayar penuh enggak bisa, token dan PDAM kan harus langsung dibayar,” ujarnya.
AMAN Bengkulu: Enggano Tidak Baik-Baik Saja!
Ketua AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, mengecam minimnya perhatian pemerintah terhadap warga Pulau Enggano.
“Pengabaian yang dilakukan pemerintah atas nasib warga Enggano adalah tindakan yang tak patut dimaafkan. Kalau saja di Enggano ada tambang emas atau nikel, mungkin sudah diselamatkan cepat,” kata Fahmi.
Ia menolak narasi pemerintah yang menyatakan bahwa kondisi di Enggano sudah tertangani.
“Enggano sedang tidak baik-baik saja! Mana tanggung jawab pemerintah soal nasib mereka? Tidak ada sama sekali,” tegasnya.
Sebanyak 4.000 warga Pulau Enggano kini menantikan solusi konkret dari pemerintah, agar Pelabuhan Pulau Baai kembali berfungsi normal. Dengan demikian, akses terhadap transportasi laut bisa pulih, dan ekonomi lokal bisa kembali bergerak.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul