Kuil Kerajaan Joseon Kembali ke Korea, Satu Abad Berada di Jepang setelah Masa Penjajahan

kuil kerajaan dari Dinasti Joseon (1392–1910) akhirnya kembali ke Korea hampir 100 tahun. Bangunan Gwanwoldang telah dibawa ke Jepang selama masa penjajahan. Ini menjadi pertama kalinya sebuah bangunan Korea Selatan secara utuh berhasil direpatriasi dari luar negeri. Keberhasilan ini menetapkan standar baru dalam kerja sama internasional pelestarian warisan budaya.
Layanan Warisan Budaya Korea (KHS) dan Yayasan Warisan Budaya Korea di Luar Negeri (OKCHF) mengumumkan pada pekan lalu bahwa mereka secara resmi telah menerima komponen bangunan Gwanwoldang yang telah dibongkar dari Kuil Kotoku-in di Kamakura, Jepang.
Pengembalian ini dimungkinkan melalui kesepakatan dengan kepala biksu kuil, Takao Sato. Bagian-bagian kuil kini disimpan di Yayasan Arsitektur dan Teknologi Tradisional Korea di Paju, Provinsi Gyeonggi. Di sana, proses restorasi akan segera dimulai.
“Pengembalian ini merupakan pencapaian yang sangat berarti, yang dimungkinkan berkat kerja sama tulus dari pemiliknya dan upaya berkelanjutan dari para ahli Korea dan Jepang. Ini menjadi contoh kerja sama berdasarkan saling menghormati dan saling pengertian melalui warisan budaya,” kata Administrator KHS Choi Eung-chon dalam konferensi pers di Museum Istana Nasional Korea di Seoul, dikutip The Korea Times.
chon mengungkapkan harapannya agar pengembalian Gwanwoldang, yang bertepatan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Korea dan 60 tahun normalisasi diplomatik Korea-Jepang, dapat menjadi simbol solidaritas budaya dan kerja sama masa depan antara kedua negara. Gwanwoldang merupakan bangunan kayu satu lantai yang dibangun pada akhir periode Joseon. Bangunan ini memiliki atap pelana dan tata ruang tiga kolom di bagian depan dan dua kolom di samping. Analisis arsitektur menunjukkan bangunan ini dibangun sebagai kuil kerajaan untuk seorang daegun (pangeran agung), satu tingkat di bawah raja. Diperkirakan, bangunan ini pernah berdiri di Seoul. KHS merujuk catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Bank Joseon Siksan, yang aktif selama masa penjajahan Jepang (1910–1945), mentransfer kepemilikan bangunan ini kepada Kisei Sugino, presiden pertama Yamaichi Securities, pada 1924.
Bangunan tersebut kemudian dipindahkan ke Tokyo dan disumbangkan ke Kuil Kotoku-in pada 1930-an. Bangunan itu kemudian digunakan sebagai aula doa untuk memuja patung Avalokitesvara selama lebih dari 90 tahun.
Pengembalian Gwanwoldang diprakarsai kepala biksu Kuil Kotoku-in. Ia merasa kuil tersebut seharusnya dipelihara di negara asalnya.
“Melalui proyek kolaborasi dengan Korea ini, nilai historis bangunan ini menjadi jauh lebih jelas. Saya sangat setuju bahwa mengembalikan Gwanwoldang ke Korea adalah cara terbaik untuk memastikan pelestariannya, dan saya memutuskan untuk menyumbangkannya,” ujar Sato
Sato secara pribadi menanggung biaya pembongkaran dan pengiriman, menegaskan komitmennya terhadap repatriasi ini.
Selama beberapa tahun, KHS dan OKCHF dengan tekun membangun hubungan kepercayaan dengan Kuil Kotoku-in. Upaya mereka mencakup survei bersama, dokumentasi, dan konservasi yang melibatkan langsung para ahli Korea di lokasi.
Penelitian menunjukkan, meskipun rangka kayunya relatif sederhana, interior bangunan mengandung unsur khas arsitektur kerajaan abad ke-18 dan ke-19.
Genteng atap yang dihiasi dengan motif naga, laba-laba, iblis, dan kelelawar, serta beberapa lapisan dancheong (lukisan warna-warni tradisional Korea), menandakan status tinggi bangunan tersebut. Analisis pigmen mengungkapkan bangunan ini dicat ulang beberapa kali antara akhir abad ke-18 dan ke-19. Penelitian juga menemukan adanya modifikasi yang dilakukan setelah bangunan dipindahkan ke Jepang.
KHS menyatakan penelitian lanjutan akan dilakukan selama proses restorasi karena tidak ditemukan catatan pembangunan asli atau papan nama selama pembongkaran. Hal itu menyisakan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab, seperti nama asli bangunan, lokasi persisnya, dan siapa tokoh kerajaan yang dihormati melalui kuil ini.(dwi)