Masih Cinta dengan Pasangan, Kenapa Berselingkuh?

perselingkuhan, Alasan selingkuh, alasan selingkuh, inner child, psikologi keluarga, apresiasi pasangan, alasan berselingkuh, masih cinta tapi selingkuh, Masih Cinta dengan Pasangan, Kenapa Berselingkuh?, 1. Inner child yang terluka, 2. Faktor lingkungan, 3. Memuaskan ego, 4. Kurang diapresiasi

Berbicara tentang perselingkuhan, tidak selamanya suami atau istri melakukanny,a karena sudah tidak cinta lagi dengan pasangannya.

Ada pelaku perselingkuhan yang memang masih mencintai pasangannya, bahkan juga sering memujinya di depan banyak orang dan media sosial, tetapi tetap berselingkuh.

Kok bisa sih?

Begini penjelasan dari psikolog keluarga sekaligus konsultan pranikah yang berpraktik di Semarang, Jawa Tengah, Sukmadiarti, M.Psi., Jumat (25/7/2025).

Alasan selingkuh meski mencintai pasangan

Kata Sukmadiarti, ada tiga penyebab suami atau istri berselingkuh meskipun masih mencintai pasangan dan menyayangi keluarga kecilnya, di antaranya adalah inner child yang terluka, faktor lingkungan, dan untuk memuaskan ego.

1. Inner child yang terluka

Inner child adalah kondisi ketika orang dewasa memiliki sesuatu yang tidak selesai pada masa anak-anak.

Umumnya, inner child terlihat ketika seseorang memerlukan atau melakukan sesuatu yang bersifat kekanakan.

Penyebab utama inner child adalah konflik pada masa anak-anak yang belum terselesaikan secara batin.

Konflik bisa berasal dari lingkungan keluarga atau bermain, misalnya anak dihadapkan dengan keluarga yang berantakan.

“Dulu orangtuanya ada yang berselingkuh, sehingga ketika dia saat ini tertekan atau bermasalah dengan pasangan, punya emosi yang terpendam, pelariannya adalah berselingkuh,” jelas Sukmadiarti.

Ketika menghadapi masalah, misalnya dalam berumah tangga, pelaku perselingkuhan malah “menerapkan” respons mengalihkan.

Bukannya mencoba menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin sampai menemukan sebuah solusi, mereka malah beralih ke jalan pintas.

Masalah dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian.

“Kalau berselingkuh, dia mengalihkan. Dia enggak pengin merasa kesal ke pasangan, jadi kesalnya dipindah (dialihkan) menjadi perilaku berselingkuh. Jadi, lebih ke pelarian,” tutur dia.

Apabila seseorang tahu cara mengelola emosi dan terbuka saat dihadapkan dengan suatu masalah, mereka akan menghadapinya dengan tegar.

2. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan bisa membuat seseorang berselingkuh, terutama jika mereka tidak bisa mengontrol diri untuk tetap setia dengan pasangan sahnya.

Faktor lingkungan bisa berupa lingkup pertemanan, yang mana banyak teman-temannya berselingkuh sehingga dia ikut-ikutan, bisa pula lingkungan kantor yang toksik.

Misalnya adalah budaya ‘servis tamu’ yang terjadi ketika sebuah perusahaan hendak mencapai kesepakatan kerja sama dengan perusahaan lain.

Salah satu perusahaan bakal memberikan perempuan sebagai bentuk pendekatan.

Kemudian adalah budaya “pemberian hadiah” berupa perempuan, ketika seorang karyawan berhasil mencapai target tertinggi di kantor tersebut.

“Itu termasuk ke faktor lingkungan. Namanya berada di dunia seperti itu, mau enggak mau kan bisa saja terjadi (perselingkuhan). Ada yang jadi terjebak karena faktor lingkungan,” ucap Sukmadiarti.

3. Memuaskan ego

Kemudian adalah suami atau istri berselingkuh hanya untuk memuaskan ego.

Ini rentan terjadi ketika mereka memegang jabatan yang lebih tinggi dan harta yang berlimpah.

“Mereka merasa bisa mendapatkan siapa saja untuk pencapaian pribadi, pembuktian diri,” ungkap Sukmadiarti.

Sebagai contoh, ia pernah mendapatkan klien laki-laki yang berselingkuh karena ego.

Sebelum sukses, ia sulit mendapatkan perempuan.

Sejak memiliki jabatan dan harta, ia sering berselingkuh karena merasa bisa “menaklukkan” banyak perempuan.

4. Kurang diapresiasi

Perselingkuhan memang salah.

Namun, permasalahan ini tidak hanya disebabkan oleh salah satu pihak, tetapi keduanya.

Misalnya, salah satu pihak tidak pandai mengapresiasi pasangannya selama menikah.

Alhasil, sang suami atau istri mencari pihak ketiga yang bisa mengapresiasinya.

“Kalau suami atau istri tidak pandai mengapresiasi pasangan, begitu di luar ada yang bisa mengapresiasi, mereka bakal ‘kena’. Makanya, apresiasi pasangan,” imbau Sukmadiarti.

Apresiasi tidak melulu perihal visual, seperti selalu memuji betapa tampan atau cantiknya pasangan.

Menunjukkan rasa bangga akan dedikasi pasangan dalam membangun rumah tangga dengan melakukan perayaan kecil pun bisa dilakukan.

Syaratnya, apresiasi harus ditunjukkan di depan pasangan, bukan di belakang.

“Apresiasi itu harus disampaikan. Banyak yang gengsi, misalnya suami gengsi ke istri atau istri gengsi ke suami. Pasangan butuh diapresiasi secara langsung,” ucap dia.