Apa Risiko Sering Curhat ke AI? Ini Penjelasan Psikolog

Belakangan ini, banyak remaja merasa lebih nyaman curhat ke AI atau chatbot dibandingkan ke orangtua atau teman.
Menurut Psikolog Anak dan Remaja, Firesta Farizal, M.Psi., fenomena ini terjadi karena beberapa faktor, mulai dari akses mudah hingga rasa aman yang dirasakan remaja saat berbicara dengan AI.
"Remaja sekarang pasti punya handphone, sehingga akses untuk chat AI lebih mudah. Mungkin malah lebih sulit mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat, seperti orangtua, keluarga, atau teman," ujar Firesta saat dihubungi Kompas.com, Jumat (1/8/2025).
AI dinilai cepat, praktis, dan tidak menghakimi.
"Respon AI diprogram untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penggunanya, sehingga mereka merasa didengarkan, dapat solusi instan, aman, rahasianya terjaga, dan tidak dinilai negatif," tambahnya.
Remaja makin nyaman curhat ke chatbot karena merasa aman dan tak dihakimi. Psikolog ingatkan, peran orangtua tetap penting dan tak tergantikan.
Risiko sering curhat ke AI
Meski begitu, Firesta menegaskan bahwa AI hanyalah robot.
Ketergantungan berlebihan justru bisa membuat remaja semakin tertutup dari dunia nyata.
"Semakin sering chat sama AI, pada akhirnya justru semakin tertutup. Mereka lebih sering ngobrol sama AI daripada orang di sekitarnya, jadi merasa sendirian, bahkan kesepian," jelasnya.
Peran orangtua tetap penting
Fenomena ini bukan berarti peran orangtua berkurang. Firesta menekankan bahwa hubungan yang baik dengan anak harus dibangun sejak kecil, bahkan sejak lahir.
anak tetap bisa curhat ke orang-orang nyata di sekitarnya, terutama orangtua," ujarnya.
Menurut Firesta, orangtua perlu hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
"Dengarkan anak, tahan diri untuk tidak buru-buru memberikan judgment. Berusaha melihat dari sudut pandang anak, lalu berikan dukungan sebelum memberi pandangan sebagai orangtua," kata Firesta.
Remaja kini lebih nyaman curhat ke chatbot daripada ke orang tua. Psikolog ungkap alasan dan dampaknya bagi kesehatan mental terlalu bergantung AI.
Mendampingi remaja yang sering curhat ke AI
Firesta mengingatkan, penggunaan AI sebagai media curhat bisa berisiko, apalagi jika tidak diawasi dengan tepat.
Karena itu, penting ada aturan dan diskusi bersama anak tentang kapan dan bagaimana menggunakan chatbot.
"Kalau menemukan anak sering chat sama AI, coba ngobrol dulu. Cari tahu apa yang diobrolkan, apa yang dibutuhkan anak. Lalu bahas bersama batasan penggunaan AI yang aman," sarannya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya edukasi soal kesehatan mental.
"Remaja perlu punya kesadaran terhadap kesehatan mentalnya. Kalau merasa cemas, khawatir berlebihan, sedih berkepanjangan, atau kehilangan energi untuk mencari pertolongan yang tepat," tutur Firesta.
Menurutnya, langkah pertama bisa dengan berbicara kepada orangtua, guru, atau anggota keluarga yang dipercaya.
Jika perlu, temui psikolog atau tenaga profesional yang dapat memberikan bantuan secara tepat.
Pada akhirnya, kata Firesta, AI tidak dapat menggantikan kehangatan hubungan manusia.
"Dukungan emosional, rasa dipahami, dan keterhubungan yang nyata hanya bisa didapatkan dari interaksi manusia, terutama orangtua. Kehadiran mereka secara fisik dan emosional adalah hal yang tidak bisa diberikan chatbot," tegasnya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!