Saat Remaja Lebih Sering Curhat ke AI daripada ke Teman atau Orangtua

Bayangkan, anak atau remaja Anda menghadapi konflik dengan sahabatnya, dan bukannya bercerita ke orangtua, guru, atau teman dekat, mereka malah memilih curhat ke chatbot.
Hal ini benar-benar terjadi pada James Johnson-Byrne, 16 tahun, yang meminta saran dari asisten AI ketika dua temannya bertengkar.
Chatbot tersebut memberi tahu Johnson-Byrne, yang tinggal di Philadelphia, Amerika Serikat, untuk memisahkan teman-temannya. Ia melakukannya dan masalah langsung teratasi.
"Namun, sekarang mereka tidak banyak bicara. Pendamping AI tidak dapat menemukan masalah yang lebih mendalam," katanya kepada CNN.
Hal lain yang mengejutkan Johnson-Byrne adalah bagaimana rekan AI tampaknya selalu setuju dengannya dan mengatakan apa yang ingin ia dengar.
Karakter AI seperti ini memang semakin populer di kalangan remaja. Berdasarkan laporan dari Common Sense Media, sebanyak 72 persen remaja berusia 13–17 tahun pernah menggunakan "pendamping AI", dan sepertiganya mengandalkan chatbot untuk membahas isu-isu serius dalam hidup mereka.
Secara umum, chatbot dirancang untuk menjadi teman digital yang responsif, sopan, dan selalu siap mendengarkan.
Namun justru di situlah letak tantangannya. Mereka memang "ramah", tetapi juga cenderung selalu setuju dengan penggunanya. Tidak ada dinamika emosional atau tantangan sosial seperti dalam hubungan manusia pada umumnya.
Bahkan, James sempat mengaku hampir lupa bahwa yang diajak bicara bukanlah manusia sungguhan.

Ilustrasi remaja laki-laki.
Menurut psikolog Michael Robb dari Common Sense Media, masa remaja adalah masa penting dalam perkembangan sosial dan emosional.
"Kami tidak ingin anak-anak merasa mereka harus curhat atau mengandalkan teman AI, alih-alih teman, orang tua, atau profesional yang berkualifikasi, terutama ketika mereka membutuhkan bantuan untuk masalah serius," kata Robb, penulis utama studi ini.
Mengurangi keterampilan interpersonal
Ketergantungan pada chatbot bisa menghambat remaja dalam membangun keterampilan interpersonal yang sehat, mulai dari membaca bahasa tubuh, menangkap nada bicara, hingga belajar mengatasi konflik nyata.
"Di dunia nyata, ada berbagai macam isyarat sosial yang harus ditafsirkan dan dibiasakan oleh anak-anak, serta dipelajari cara meresponsnya," Robb menjelaskan.
Chatbot juga bersifat menjilat, kata Robb. "Mereka ingin menyenangkan Anda, dan mereka tidak akan menciptakan banyak gesekan seperti yang mungkin terjadi di dunia nyata," ujarnya.
Jika anak remaja terbiasa dengan teman AI yang selalu memberi tahu apa yang ingin mereka dengar, ketika kelak mengalami gesekan atau kesulitan dalam interaksi di dunia nyata, anak akan kurang siap.
Belum lagi soal privasi. Dalam survei yang sama, 1 dari 4 remaja mengaku pernah membagikan informasi pribadi kepada chatbot.
Padahal, data tersebut bisa saja digunakan oleh perusahaan di balik platform AI, bukan hanya disimpan sebagai “rahasia” teman curhat digital.
Dalam uji risiko Common Sense Media, AI menunjukkan konten yang tidak pantas kepada anak-anak seperti materi seksual dan terkadang mereka memberikan nasihat yang berbahaya.
Yang perlu dilakukan orangtua
Khawatir berlebihan? Tidak juga. Chatbot bisa bermanfaat sebagai teman digital atau media hiburan, selama anak-anak dan remaja tidak menggantikan interaksi manusia sepenuhnya dengan AI.
Orang tua sebaiknya mulai dengan berbicara kepada anak remaja mereka tentang curhat ke AI "tanpa menghakimi.
"Anda dapat bertanya ke anaknya apakah pernah menggunakan aplikasi untuk curhat atau berteman dengan AI. Dengarkan penjelasan mereka untuk mempelajari apa yang menarik bagi anak remaja Anda sebelum Anda terburu-buru mengungkapkan kekhawatiran", saran Robb.
Penting bagi orangtua untuk membuka ruang komunikasi dan rasa percaya, agar anak merasa nyaman berbagi cerita secara langsung tanpa harus mencari validasi dari mesin.
Lalu, ada baiknya untuk menunjukkan bahwa "teman AI diprogram untuk menyenangkan dan memvalidasi" dan membahas mengapa hal itu menjadi perhatian. Remaja harus tahu bahwa cara kerja hubungan persahabatan bukan seperti itu karena teman sejati terkadang tidak setuju dengan kita.
Selain itu, dorong anak untuk berteman dengan teman sebaya di dunia nyata.