Perguruan Tamanruru, Sekolah Nonformal di Pameran Artjog 2025

Di tengah semarak pameran seni kontemporer Artjog 2025 yang telah berlangsung pada 20 Juni-31 Agustus 2025 di Jogja National Museum (JNM), ada sebuah ruang unik yang mencuri perhatian pengunjung.
Namanya Perguruan Tamanruru, sebuah sekolah alternatif yang menjadikan pameran seni sebagai ruang belajar bersama. Proyek ini diinisiasi oleh organisasi seni rupa kontemporer asal Jakarta, bernama ruangrupa.
"Nah, kalau balik cerita sedikit, Artjog itu menggandeng ruangrupa untuk bikin special project yaitu Perguruan Tamanruru. Perguruan Tamanruru ini konsepnya seperti sekolah nonformal selama periode Artjog," ujar Koordinator ruangrupa, Geminisya Aldheana Tania atau Dhea saat dijumpai Kompas.com di Galeri Artjog 2025, Minggu (31/8/2025).
Melalui Tamanruru, ruangrupa menghadirkan ruang belajar yang tumbuh seiring proses kreatif.
Selama 2,5 bulan pameran, sembilan peserta terpilih dari berbagai latar belakang mengikuti proses pembelajaran dan berkarya bersama di Perguruan Tamanruru, selaras dengan tema Artjog tahun ini, “Motif: Amalan”.
“Special project dari ruangrupa dengan tajuk Perguruan Tamanruru ini ingin memperlihatkan pertumbuhan dari hasil belajar, diskusi, dan temuan peserta Tamanruru dalam radius 1 km dari lokasi perhelatan Artjog 2025,” sambung Dhea.
Aktivitas di instalasi Perguruan Tamanruru dari ruangrupa selama Artjog 2025 berlangsung di Jogja National Museum (JNM).
Konsep yang pernah digarap di Jepang
Konsep Tamanruru mengulang dari pengalaman ruangrupa saat mengikuti pameran Aichi Triennale di Jepang pada tahun 2016, di mana mereka membuat proyek serupa bernama RURU Gakko (Sekolah ruru).
“Di Jogja, kami ingin menyesuaikan dengan lokalitas. Maka dipilih nama Perguruan Tamanruru, sebagai adaptasi dari Perguruan Taman Siswa yang lahir di kota ini,” jelas Dhea.
Dhea melanjutkan cerita bahwa pesertanya dipilih lewat panggilan terbuka, dengan syarat menulis esai tentang Jogja, seperti menulis pandangan, pengalaman, atau hal yang ingin diubah.
Dari proses itu, terpilih sembilan peserta dengan latar belakang beragam.
"Ada yang berlatar seni, ada mahasiswa hukum, dan ada pula yang memilih menjadikan keseharian bersama masyarakat serta pengamatan terhadap lingkungan sebagai ruang belajarnya." ungkap Dhea.
Suasana instalasi Perguruan Tamanruru dari ruangrupa di hari terakhir Artjog 2025, Minggu (31/8/2025).
Dari ruangan kosong yang dibiarkan bertumbuh
Dhea mengatakan Perguruan Tamanruru tidak memakai kurikulum kaku. Sejak awal, ruangannya dibiarkan kosong. Seiring waktu, ide, coretan, dan karya mulai mengisi dinding dan meja.
“Ruangnya tumbuh perlahan, dari catatan, gambar, zine, stiker, hingga sablon DTF sebagai hasil olahan temuan peserta Tamanruru. Semua menjadi bagian dari praktik artistik,” ujar Dhea sambil menunjuk karya-karya yang dipajang.
Karya yang lahir pun tidak selalu berupa instalasi besar. Ada yang menulis zine, ada yang membuat ilustrasi untuk sablon kaos, ada pula yang berkolaborasi dengan warga sekitar. Semua diperlakukan sebagai cara berbagi pengetahuan.
Beberapa karya anak Gampingan dan peserta Perguruan Tamanruru dari ruangrupa selama Artjog 2025 berlangsung di Jogja National Museum (JNM).
Manifesting bersama anak-anak Gampingan
Salah satu peserta, Shabrina Bachri, memilih fokus pada anak-anak di Kampung Gampingan, kawasan yang berjarak kurang dari radius 1 km dari JNM.
Ia membuat program Gaber (Gambar Bersama), mengajak 12 anak berusia 5-10 tahun untuk menggambar dan bercerita.
Shabrina bercerita, ia memberi tiga pertanyaan sederhana kepada anak-anak, yaitu tentang cita-cita, rumah impian, dan apa yang akan dilakukan jika punya banyak uang.
“Jawaban mereka macam-macam. Ada yang ingin beli motor, mobil, sampai helikopter. Ada yang ingin jadi polisi atau tentara. Tapi ada juga yang bilang, kalau punya uang, dia tidak mau beli apa-apa, hanya ingin Umrah,” tutur Shabrina.
Menurutnya, jawaban polos itu adalah refleksi jujur tentang harapan dan cara anak-anak melihat masa depan. Sebuah praktik manifesting yang lahir lewat seni dan imajinasi.
Menjembatani dalam dan luar Artjog
Dhea mengatakan, Perguruan Tamanruru menjadi ruang pertemuan antara dunia seni di dalam ArtJog dan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
“Tujuan kita bersama sebenarnya ingin menyoroti pengetahuan lokal yang ada di Gampingan. Menghadirkan perspektif dan suara-suara yang tumbuh di luar ruang ini.” kata Dhea.
Karya kolektif sembilan peserta ini rencananya akan berlanjut ke panggung lain, yaitu Synchronize Festival di Jakarta yang bersamaan dengan perayaan 25 tahun ruangrupa, pada awal Oktober 2025 mendatang.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.