Agar Anak Tidak Meniru Amarah Orang Dewasa, Ini Cara Mengajarkannya

Apa yang dilihat dan didengar di sekitar anak-anak, mudah diserap dan ditiru oleh mereka. Termasuk amarah orang dewasa.
Di tengah situasi sosial-politik yang memanas, anak-anak mudah menangkap momen kericuhan, kata-kata kasar, hingga perilaku yang tidak patut dicontoh.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., mengatakan orangtua memiliki peran penting untuk membantu anak menyikapi fenomena ini dengan cara yang sehat.
Cara mengajarkan anak tidak meniru amarah orang dewasa
-
Validasi perasaan anak terlebih dahulu
Menurut Vera, langkah pertama yang bisa dilakukan orangtua adalah memberi perhatian pada perasaan anak.
Misalnya, ketika anak terlihat cemas setelah melihat keributan, orangtua bisa mengatakan kalimat yang menenangkan, seperti,"Kamu takut ya lihat orang marah-marah?”
“Dengan validasi, anak merasa dipahami dan aman. Ini penting agar mereka mau terbuka,” kata Vera saat dihubungi Kompas.com baru-baru ini.
Psikolog anak menekankan pentingnya budi pekerti untuk menumbuhkan empati anak, bahkan di tengah gejolak politik yang sering memicu kecemasan.
-
Jelaskan dengan bahasa sederhana
Anak membutuhkan penjelasan yang sesuai dengan usianya.
Orangtua dapat menjelaskan bahwa kemarahan orang dewasa biasanya muncul karena perbedaan pendapat, tetapi cara marah yang kasar bukanlah contoh yang benar.
“Jelaskan dengan bahasa sederhana seperti, kadang orang dewasa marah karena berbeda pendapat, tapi bukan berarti cara marah seperti itu benar,” jelas Vera.
-
Tawarkan alternatif positif
Setelah itu, orangtua bisa menunjukkan cara lain yang lebih baik dalam menghadapi perbedaan.
Contohnya, “Kalau kita berbeda pendapat, kita bisa bicara dengan tenang dan saling mendengar.”
Dengan begitu, anak belajar bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan teriakan atau kekerasan, tetapi bisa dengan komunikasi yang sehat.
-
Peran teladan orangtua sangat penting
Selain penjelasan verbal, anak juga belajar dari perilaku sehari-hari orangtua.
“Kalau orangtua mampu mengelola emosi dan memperlihatkan sikap tenang, anak akan meniru itu,” ujar Vera.
Menunjukkan perilaku ramah kepada orang lain, membantu tetangga yang kesulitan, atau tetap tenang ketika menghadapi masalah, akan menjadi contoh nyata bagi anak dalam mengelola perasaan.
Bekal penting untuk masa depan anak
Vera menegaskan, mengajarkan anak menghadapi konflik dengan tenang tidak hanya melindungi mereka dari perilaku agresif, tetapi juga membekali dengan keterampilan sosial yang penting untuk masa depan.
Anak yang terbiasa diajarkan empati dan kontrol diri akan lebih mudah menjalin hubungan sehat, dipercaya orang lain, dan mampu mengambil keputusan dengan bijak.
“Empati dan kemampuan mengelola konflik adalah bekal penting agar anak bisa bertumbuh menjadi individu yang peduli, rendah hati, dan bertanggung jawab,” kata Vera.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.