Demo hingga Penjarahan, Bagaimana Situasi Sebuah Negara Mempengaruhi Mental Warganya?

Selama sepekan ini Jakarta dan sejumlah kota-kota besar di Indonesia menggelar aksi demonstrasi. Aksi demonstrasi yang terjadi di masyrakat ini menyusul dengan kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR RI.
Setelah menimbulkan korban jiwa, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang tewas akibat ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brimob di wilayah Jakarta pada 28 Agustus, demonstrasi berubah menjadi chaos. Beberapa rumah dari politisi hingga menteri keuangan dijarah.
Menyusul dengan kondisi yang terjadi di Indonesia banyak orang mengaku merasakan kecemasan. Akibat kecemasan atas kondisi negara ini banyak dari publik yang memilih untuk tidak menggunakan media sosial. Lantas seberapa berpengaruhnya sebuah kondisi di Indonesia dengan kesehatan mental masyarakatnya?
Kondisi negara yang penuh ketidakpastian memang bisa ikut membentuk kondisi psikologis masyarakatnya. Rasa cemas, stres, bahkan depresi bisa meningkat saat individu terus-menerus terpapar informasi mengenai konflik, kerusuhan, atau instabilitas politik.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, kesehatan mental sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan. WHO menekankan bahwa kondisi sosial-ekonomi, politik, dan lingkungan yang tidak stabil dapat meningkatkan risiko gangguan mental, termasuk depresi dan kecemasan.
Dalam konteks Indonesia saat ini, maraknya demonstrasi dan ketegangan politik bisa memicu rasa takut, khawatir, dan ketidakpastian, terutama pada kelompok masyarakat yang kesehariannya bersinggungan langsung dengan area demo atau mereka yang aktif mengikuti perkembangan berita politik.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di The Lancet Psychiatry (2019) meneliti dampak ketidakstabilan politik pada kesehatan mental masyarakat di Hong Kong. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan pada kasus depresi dan gangguan kecemasan selama periode protes massal. Angka prevalensi depresi naik dari 1,9% menjadi 11,2% dalam kurun waktu setahun.
Hal ini memberi gambaran bahwa kondisi sosial-politik yang penuh ketegangan, seperti demo di Indonesia, berpotensi meningkatkan kerentanan serupa di masyarakat kita.
Profesor epidemiologi psikiatri di Harvard T.H. Chan School of Public Health, Dr. Karestan Koenen menjelaskan bahwa paparan terus-menerus terhadap berita kekerasan, protes, atau konflik sosial dapat menimbulkan stres kronis.
“Jika berlangsung lama, kondisi ini bisa melemahkan kesehatan mental, terutama bagi mereka yang sudah memiliki kerentanan sebelumnya,” kata dia.
Artinya, situasi demo yang terus terjadi tidak hanya menjadi isu politik semata, melainkan juga ancaman terselubung bagi kesehatan mental masyarakat yang setiap hari ‘hidup’ dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-hari
- Meningkatnya rasa cemas – Banyak orang merasa takut beraktivitas di luar rumah karena khawatir terjebak kericuhan.
- Stres akibat informasi berlebihan – Paparan media sosial dan berita yang penuh konflik bisa memicu kelelahan mental.
- Gangguan tidur – Kekhawatiran terhadap masa depan dan kondisi negara membuat sebagian orang kesulitan tidur nyenyak.
- Produktivitas menurun – Pegawai yang masih harus WFO di tengah demonstrasi bisa merasa tidak fokus dan cepat lelah.
Bagaimana Mengurangi Dampaknya?
- Batasi paparan berita: Pilih sumber berita yang kredibel, jangan terus-menerus terpaku pada informasi negatif.
- Jaga rutinitas sehat: Olahraga, tidur cukup, dan makan teratur bisa membantu menstabilkan kondisi psikologis.
- Dukung sesama: Diskusi sehat dengan keluarga atau teman bisa mengurangi rasa cemas.
- Cari bantuan profesional: Jika stres semakin berat, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.