Mengenal Money Dysmorphia, Ketika Persepsi Keuangan Menipu Pikiran dan Bikin Cemas

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, persoalan keuangan tidak hanya berhubungan dengan angka di rekening bank. Uang juga erat kaitannya dengan kondisi emosional dan psikologis seseorang.
Banyak orang bekerja keras, menabung, dan berinvestasi untuk merasa aman, namun tetap saja dihantui perasaan kurang, takut bangkrut, atau bahkan malu terhadap pencapaian finansialnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah money dysmorphia.
Money dysmorphia bukanlah diagnosis medis, tetapi istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana seseorang memiliki pandangan menyimpang terhadap keuangannya.
Orang dengan kondisi ini bisa merasa miskin padahal cukup mapan, atau sebaliknya merasa aman meski sebenarnya berada dalam risiko finansial.
Ketidaksesuaian antara realita dan persepsi ini dapat memicu kecemasan, mengganggu kualitas hidup, dan bahkan berujung pada keputusan finansial yang keliru.
Agar lebih jelas, berikut beberapa ciri, penyebab, serta cara mengatasi money dysmorphia yang perlu Anda tahu:
1. Merasa Kurang Meski Cukup
Salah satu tanda utama money dysmorphia adalah perasaan tidak pernah cukup. Seseorang bisa memiliki gaji yang stabil, tabungan, bahkan aset, namun tetap merasa miskin. Kondisi ini biasanya dipicu oleh perbandingan sosial, seperti membandingkan diri dengan gaya hidup orang lain yang terlihat lebih mewah.
2. Takut Mengecek Rekening
Sebagian orang menghindari kenyataan finansial dengan tidak pernah membuka rekening bank, tagihan, atau laporan keuangan. Perasaan takut, malu, atau cemas membuat mereka lebih memilih untuk “menutup mata” daripada menghadapi kondisi sebenarnya.
3. Malu terhadap Kondisi Keuangan
Ada individu yang merasa rendah diri karena tidak mampu mencapai standar tertentu, meski sebenarnya sudah cukup stabil. Rasa malu ini sering kali muncul akibat tekanan sosial atau standar yang tidak realistis.
4. Perilaku Ekstrem dalam Mengelola Uang
Money dysmorphia juga bisa membuat seseorang terlalu boros atau sebaliknya terlalu menahan diri. Mereka bisa menghamburkan uang demi terlihat mampu, atau justru menolak membeli kebutuhan dasar karena takut kehabisan uang, meski kondisi keuangan sebenarnya cukup aman.
5. Trauma Finansial di Masa Lalu
Pengalaman buruk di masa kecil, seperti tumbuh di keluarga dengan keterbatasan keuangan, sering kali membentuk pola pikir yang bertahan hingga dewasa. Trauma ini dapat membuat seseorang sulit merasa aman meskipun sudah mapan.
6. Pengaruh Media Sosial
Media sosial sering menampilkan gaya hidup glamor yang membuat banyak orang merasa tertinggal. Konten-konten ini dapat memicu money dysmorphia karena individu merasa pencapaiannya tidak sebanding dengan orang lain.
7. Tekanan Ekonomi Global
Naiknya biaya hidup, inflasi, atau ketidakpastian pekerjaan dapat memperburuk kondisi money dysmorphia. Orang menjadi lebih rentan merasa tidak aman, meskipun secara objektif mereka masih dalam kondisi baik.
8. Dampak Psikologis yang Serius
Kondisi ini tidak hanya soal uang, tetapi juga menyangkut kesehatan mental. Perasaan cemas berlebihan, stres, bahkan depresi bisa muncul akibat ketidakseimbangan antara realita dan persepsi keuangan.
9. Rentan Dialami Gen Z dan Milenial
Penelitian menunjukkan generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, lebih rentan mengalami money dysmorphia. Tekanan untuk sukses di usia muda, ditambah paparan media sosial, membuat mereka lebih mudah merasa kurang meski sudah berusaha keras.
Cara Mengatasi Money Dysmorphia
Ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi kondisi ini. Pertama, sadari bahwa perasaan tentang uang tidak selalu mencerminkan kenyataan. Kedua, batasi konsumsi media sosial yang memicu rasa tidak cukup.
Ketiga, buat anggaran dan catat pengeluaran untuk memahami kondisi keuangan secara objektif. Terakhir, jika perlu, konsultasikan dengan konselor keuangan atau psikolog agar dapat menemukan cara yang lebih sehat dalam mengelola uang dan emosi.
Money dysmorphia menunjukkan bahwa persoalan keuangan bukan hanya soal angka, tetapi juga soal persepsi dan emosi. Dengan memahami tanda-tanda dan penyebabnya, Anda bisa lebih waspada terhadap jebakan pikiran yang menipu.
Langkah kecil seperti membuat catatan keuangan, mengurangi perbandingan sosial, hingga mencari bantuan profesional dapat membantu membangun hubungan yang lebih sehat dengan uang.