Gen Z Mepet-mepet AI, tapi Apakah Mereka Terlalu Percaya Diri?

Ilustrasi Gen Z.
Ilustrasi Gen Z.

Generasi Z (kelahiran 1997–2012, usia 12–27 tahun) dikenal sebagai pengguna tercepat dalam mengadopsi teknologi baru, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Namun, di balik antusiasme ini, muncul pertanyaan besar: apakah Gen Z terlalu percaya pada AI?

Survei dari Salesforce mengungkapkan bahwa 70 persen Gen Z telah menggunakan AI generatif dalam aktivitas sehari-hari, dan 52 persen di antaranya percaya AI bisa membantu mereka mengambil keputusan penting.

Bahkan, separuh dari pengguna tersebut kini mengaku semakin sering menggunakan AI dibandingkan saat pertama kali mencobanya.

Salesforce menyebut Gen Z bukan hanya sebagai early adopters, tapi juga sudah menjadi “super-users”, yakni pengguna rutin yang merasa semakin mahir menggunakan AI.

Mereka menjadikan teknologi ini sebagai bagian penting dari cara berpikir dan bekerja. Namun, penelitian dari Gallup terhadap 3.465 pekerja Gen Z menunjukkan sisi lain dari hubungan ini.

Sebanyak 47 persen menggunakan AI setiap minggu, tapi 41 persen di antaranya merasa cemas terhadap teknologi tersebut.

Artinya, meskipun dekat dengan AI, belum tentu mereka memiliki pemahaman kritis dalam penggunaannya.

Hal ini diperkuat oleh survei dari portal karier EY, yang menunjukkan banyak Gen Z mengklaim “sangat paham AI”, padahal saat diuji untuk menulis prompt atau menilai kelemahan AI, performa mereka justru rendah.

Akibatnya, muncullah risiko terbentuknya generasi pekerja yang terlalu percaya diri menggunakan teknologi, namun minim keterampilan evaluasi.

Penelitian dari Aithor menunjukkan bahwa hampir 80 persen profesional Gen Z menggunakan AI untuk lebih dari separuh tugas mereka, dan 38 persen bergantung pada AI setiap hari.

Sayangnya, tidak semua mampu menilai kapan AI salah atau memberikan informasi yang menyesatkan.

Survei dari TalentLMS juga mengungkap paradoks lain: semakin sering Gen Z menggunakan AI, justru semakin menurun keterampilan dasarnya di tempat kerja.

Ketergantungan pada AI membuat sebagian pekerja muda kesulitan dalam kerja sama tim, komunikasi, dan membangun relasi profesional.

Padahal, keterampilan lunak (soft skills) ini sangat penting untuk kesuksesan jangka panjang. Namun, bukan berarti Gen Z tidak menyadari risiko tersebut.

Survei dari Udemy menunjukkan bahwa 30 persen Gen Z ingin meningkatkan keterampilan AI, dan secara bersamaan mereka juga menekankan pentingnya komunikasi (30 persen) dan berpikir kritis (26 persen).

Bahkan, 84 persen dari mereka menganggap soft skills adalah kunci utama keberhasilan profesional. Dengan kata lain, meski sangat mengandalkan teknologi, Gen Z tetap menyadari bahwa AI hanyalah alat bantu.

Keterampilan manusia tetap tak tergantikan, dan mereka berusaha mencari keseimbangan antara teknologi dan kemampuan dasar yang esensial di dunia kerja.