Wajib Tahu, Perbedaan AJB dan SHM Saat Beli Tanah, Mana Lebih Kuat?

Sertifikat tanah, beda ajb dan sertifikat tanah, beda AJB dan SHM, surat ajb dan shm apakah sama, Wajib Tahu, Perbedaan AJB dan SHM Saat Beli Tanah, Mana Lebih Kuat?

Surat Akta Jual Beli atau AJB dan Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah istilah yang tidak asing saat jual beli tanah atau properti.

Sebab dua dokumen penting tersebut sering kali dianggap sebagai bukti transaksi dan kepemilikan suatu properti.

Namun, AJB dan SHM merupakan dua berkas berbeda dengan fungsi dan kekuatan bukti berbeda pula. Lantas, apa beda AJB dan SHM?

Pengertian dan fungsi AJB

Surat Akta Jual Beli atau AJB adalah dokumen yang membuktikan adanya transaksi jual beli dan pemindahan hak atas tanah.

Aturan seputar AJB tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pasal 95 ayat (1) menyebut, AJB merupakan akta tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.

Dengan kata lain, AJB dibuat sebagai syarat bagi pembeli atau pemilik baru saat akan mengurus pembuatan maupun balik nama sertifikat tanah di Kantor Pertanahan.

Secara umum, AJB memuat kesepakatan jual beli tanah atau rumah, jenis sertifikat tanah yang ditransaksikan, luas ukuran dan batas bidang tanah, serta nominal transaksi.

Dokumen ini juga menyertakan pernyataan bahwa penjual telah menerima sepenuhnya uang pembelian dengan bukti tanda terima yang sah yaitu kuitansi.

Ada pula pernyataan bahwa penjual telah memastikan obyek jual beli tidak dalam sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan utang yang tidak tercatat dalam sertifikat, serta bebas dari beban lainnya.

Pengertian dan fungsi SHM

Sertifikat Hak Milik atau SHM adalah dokumen legalitas yang membuktikan kepemilikan seseorang atas tanah dan/atau bangunan secara penuh.

Pasal 1 angka 20 PP Nomor 24 Tahun 1997 mendefinisikan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah.

Selanjutnya dalam Pasal 4 mengatakan, sertifikat hak atas tanah diterbitkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak.

Dikutip dari , Selasa (26/4/2024), hak atas tanah yang dimaksud mencakup hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai, serta hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS).

Senada, dalam Pasal 32 ayat (1), sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis di dalamnya.

Dengan catatan, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Sementara itu, umumnya, jenis sertifikat tanah yang berkaitan dengan AJB adalah hak milik atau sertifikat hak milik.

Sebab, dalam pembuatan jenis sertifikat ini, pemohon harus melampirkan dokumen AJB sebagai salah satu syarat saat mengurus di Kantor Pertanahan.

SHM sendiri merupakan bukti hak penuh atas kepemilikan tanah dan bangunan yang ada di atasnya. SHM tidak memiliki batasan waktu kepemilikan, sehingga dapat diwariskan.

Mana lebih kuat, AJB atau SHM?

Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa AJB hanya sebatas dokumen kesepakatan buatan PPAT yang menjadi bukti adanya transaksi jual beli properti.

Sementara, sertifikat tanah atau dalam hal ini SHM diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai bukti hak atas tanah.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 12/PUU-XIX/2021 menyatakan, bukti kepemilikan yang sah dari sebidang tanah adalah sertifikat hak atas tanah.

Sebab, melalui pendaftaran tanah akan diketahui siapa pemegang hak atas tanah, kapan diperalihkan, dan siapa pemegang hak yang baru, termasuk jika tanah tersebut dibebani hak tanggungan.

Di sisi lain, AJB yang dibuat PPAT belum dapat dinyatakan sebagai bukti kepemilikan karena baru sebagai salah satu syarat adanya peralihan hak.

Jika kuitansi dan AJB dijadikan dasar kepemilikan hak atas tanah, menurut MK, justru dapat mengaburkan esensi kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah.

Hal tersebut pada akhirnya dapat membawa kerugian, termasuk pada perbankan sebagai pihak yang memberikan pinjaman atau kredit jika tanah digunakan sebagai jaminan utang.

Oleh sebab itu, dengan membawa AJB sebagai salah satu syarat, pemilik baru perlu melakukan pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan agar diterbitkan sertifikat tanah.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.