RUU Perampasan Aset Mandek 17 Tahun, Kenapa DPR Tak Kunjung Sahkan?

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali jadi sorotan publik. Sejak pertama kali diusulkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008, hingga kini 2025, regulasi ini belum juga disahkan menjadi undang-undang.
Padahal, desakan agar pemerintah dan DPR segera merampungkan RUU tersebut terus bergema, apalagi di tengah maraknya kasus korupsi yang terus menggerogoti negara ini.
RUU Perampasan Aset diyakini mampu menjadi instrumen hukum penting untuk menutup celah praktik mega korupsi yang kerap melibatkan perusahaan-perusahaan besar milik negara seperti PT Pertamina, PLN, hingga Antam. Namun, alih-alih disahkan, perjalanan RUU ini justru berliku dan berulang kali mandek di meja legislatif.

Sejumlah motor disita KPK terkait OTT Wamenaker Immanuel Ebenezer
17 Tahun RUU Perampasan Aset Bolak-Balik Prolegnas
Dilansir dari berbagai sumber Kamis, 4 September 2025, sejak digagas PPATK pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU Perampasan Aset sudah mengalami dua kali revisi draf karena sejumlah pasal dianggap kontroversial.
Pada 2010, draf sempat rampung di tingkat antarkementerian dan siap diserahkan ke presiden. Dua tahun kemudian, Badan Pembinaan Hukum Nasional bahkan sudah menyusun naskah akademik untuk memperkuat pijakan regulasi tersebut.
Perjalanan RUU ini sempat menanjak pada 2015 ketika DPR memasukkannya ke dalam Prolegnas jangka menengah. Sayangnya, langkah itu tak berlanjut hingga pengesahan. Pada 2019, pemerintah kembali mengusulkan draf RUU ke DPR, namun pembahasannya tak juga selesai sampai masa sidang berakhir.
Pada 2021, RUU Perampasan Aset justru dihapus dari daftar Prolegnas dengan alasan waktu yang terlalu singkat untuk membahasnya. Harapan sempat muncul lagi pada 2023 ketika Presiden Joko Widodo mengirim surat kepada Ketua DPR Puan Maharani untuk segera membahas regulasi ini. DPR pun memasukkan RUU tersebut ke Prolegnas prioritas 2023. Tetapi hingga akhir tahun, tak ada pembahasan berarti.
Situasi serupa kembali terjadi pada 2024. Paripurna DPR terakhir yang digelar 6 Februari sama sekali tidak menyinggung soal RUU Perampasan Aset. Dan kini, keputusan rapat Baleg DPR pada 18 November 2024 membuat RUU ini tak lagi masuk daftar Prolegnas prioritas 2025.

Barang bukti kasus suap yang disita oleh KPK.
Pasal-Pasal yang Jadi Sorotan
Salah satu alasan RUU ini sulit disahkan adalah keberadaan sejumlah pasal krusial. Misalnya Pasal 2 yang memungkinkan perampasan aset dilakukan tanpa harus menunggu proses pemidanaan pelaku. Lalu Pasal 3 yang menegaskan perampasan aset tidak menghapus tuntutan pidana, dan hasil rampasan tidak dapat digugat kembali.
Selain itu, pasal-pasal lain seperti Pasal 5, 7, 10, 12, hingga 17 juga dinilai penting namun kontroversial, terutama karena mengubah pola pembuktian menjadi Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Mekanisme ini memungkinkan aset hasil tindak pidana dirampas meskipun pelaku melarikan diri, meninggal, atau lolos dari jerat hukum karena alasan teknis.
Politik dan Tahun Pemilu Jadi Penghambat
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menyebut RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah ada di DPR sejak April 2023. Namun pembahasan tidak berjalan mulus karena berbenturan dengan agenda politik besar, yakni Pemilu 2024.
Pengamat hukum Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menilai hambatan terbesar justru datang dari faktor politik. Menurutnya, pengesahan RUU ini butuh keberanian politik yang besar karena banyak kasus korupsi melibatkan aktor kuat di lingkaran politik maupun birokrasi. Resistensi dari kelompok-kelompok tersebut membuat RUU ini sulit diloloskan tanpa adanya komitmen nyata dari DPR.
Enam Alasan RUU Perampasan Aset Mendesak Disahkan
RUU Perampasan Aset bukan sekadar aturan teknis penyitaan harta hasil korupsi, melainkan instrumen penting untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Setidaknya ada enam alasan mendesak mengapa regulasi ini harus segera disahkan:
Mempercepat pengembalian kerugian negara
Hukum yang berlaku saat ini belum efektif mengembalikan kerugian akibat korupsi. RUU ini memberi jalur hukum yang lebih cepat.
- Kewajiban ratifikasi UNCAC
Sebagai negara yang meratifikasi United Nations Convention against Corruption, Indonesia wajib menyesuaikan aturan domestiknya agar mampu merampas aset hasil korupsi secara maksimal. - Menjawab modus baru kejahatan ekonomi
RUU ini akan melengkapi celah hukum terhadap tindak pidana bermotif ekonomi yang kian kompleks. - Mengisi kekosongan mekanisme hukum
Sistem yang ada belum memberikan efek jera dan masih lemah dalam penyitaan aset. - Pengaturan lebih detail
RUU ini memuat aturan yang lebih rinci dibanding UU Tipikor atau TPPU, terutama soal teknis perampasan. - Mempermudah kerja aparat penegak hukum
Dengan dasar hukum yang jelas, aparat bisa lebih cepat dan efektif merampas aset hasil tindak pidana.
Perjalanan Panjang RUU Perampasan Aset (2008–2025)
- 2008 → RUU Perampasan Aset pertama kali diusulkan oleh PPATK.
- 2009 → Tidak ada perkembangan berarti.
- 2010 → Draf RUU selesai dibahas di lingkup kementerian.
- 2011 → RUU diserahkan kepada presiden.
- 2012 → Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyusun naskah akademik.
- 2013–2014 → Tidak ada perkembangan.
- 2015 → Masuk Prolegnas Jangka Menengah 2015–2019.
- 2016–2018 → Tidak ada perkembangan signifikan.
- 2019 → RUU diusulkan kembali ke DPR, tetapi pembahasan tertunda.
- 2020 → Masuk Prolegnas Jangka Menengah 2020–2025.
- 2021–2022 → Tidak masuk Prolegnas prioritas.
- 2022 → Disetujui masuk Prolegnas prioritas 2023.
- 14 April 2023 → RUU sudah diserahkan ke presiden.
- 4 Mei 2023 → Surat Presiden (Surpres) diserahkan ke DPR.
- Mei–Agustus 2023 → Tidak ada pembahasan di DPR.
- 2024 → Presiden Joko Widodo menyatakan RUU Perampasan Aset akan dibahas bersama DPR.
- 2025 → Masuk Prolegnas Jangka Menengah periode 2025–2029, tapi tidak sebagai prioritas.