2 Skenario Balasan Iran atas Serangan AS ke Program Nuklir Mereka, Lonjakan Harga Bahan Bakar dan Perang Kawasan Membayangi

2 Skenario Balasan Iran atas Serangan AS ke Program Nuklir Mereka, Lonjakan Harga Bahan Bakar dan Perang Kawasan Membayangi

puluhan tahun, Iran telah membangun kemapuan militer berlapis. Sebagian besar armada militer di dalam dan luar negeri itu disiapkan demi mencegah serangan Amerika Serikat. Kini, dengan AS ikut campur dalam perang Iran dan Israel, Iran sepertinya tak lagi punya alasan menahan diri.

Hal ini bisa berarti gelombang serangan terhadap pasukan AS di Timur Tengah, upaya menutup jalur penting pasokan minyak global, atau langkah cepat untuk mengembangkan senjata nuklir dengan sisa-sisa program nuklir Iran setelah serangan AS terhadap tiga situs utama.

Keputusan untuk membalas AS dan sekutunya di kawasan akan memberi Iran lebih banyak target yang lebih dekat jika dibandingkan dengan Israel. Hal itu memungkinkan penggunaan rudal dan drone mereka secara lebih efektif. AS dan Israel memang memiliki kemampuan militer yang jauh lebih unggul, tapi itu tidak selalu menentukan kemenangan dalam sejarah intervensi militer AS di kawasan.

Sejak Israel memulai perang dengan serangan mendadak terhadap situs militer dan nuklir Iran pada 13 Juni, pejabat Iran dari pemimpin tertinggi hingga jajaran bawah telah memperingatkan AS untuk tidak ikut campur. Mereka mengatakan hal itu akan membawa konsekuensi serius bagi seluruh kawasan.

Setelah serangan AS ke tiga situs militer Iran, dunia akan melihat apakah peringatan itu hanya ancaman kosong atau ramalan yang mengerikan. Berikut dua skenarion serangan balik Iran setelah serangan AS, seperti dilansir The Korea Times.

1. Mengisolasi Selat Hormuz

Mulut sempit Teluk Persia merupakan jalur bagi sekitar 20 persen minyak dunia. Titik tersempit teluk hanya selebar 33 kilometer. Gangguan di sana bisa menyebabkan harga minyak melonjak secara global dan berdampak langsung pada perekonomian AS.

Iran memiliki armada kapal serang cepat dan ribuan ranjau laut yang bisa membuat selat itu tak bisa dilalui, setidaknya untuk sementara. Mereka juga bisa menembakkan rudal dari garis pantai Teluk Persia, seperti yang dilakukan sekutunya, pemberontak Houthi Yaman, di Laut Merah.

AS, dengan Armada Kelima yang berbasis di Bahrain, telah lama berkomitmen menjaga kebebasan navigasi di Selat Hormuz dan akan merespons dengan kekuatan yang jauh lebih unggul. Namun, bahkan baku tembak singkat dapat melumpuhkan lalu lintas pelayaran dan memicu ketakutan investor. Hal ini menyebabkan lonjakan harga minyak dan tekanan internasional untuk gencatan senjata.

Perlu diingat, AS memiliki puluhan ribu pasukan di kawasan, termasuk di pangkalan tetap di Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab, negara-negara Teluk Arab yang terletak di seberang Teluk Persia dari Iran, dan jauh lebih dekat ketimbang Israel. Pangkalan-pangkalan itu memiliki sistem pertahanan udara canggih seperti Israel, tetapi waktu peringatan terhadap gelombang rudal atau drone bersenjata akan jauh lebih singkat. Israel, yang berjarak ratusan kilometer lebih jauh, bahkan tidak bisa menghentikan semua serangan.

Iran juga bisa menyerang fasilitas minyak dan gas utama di negara-negara tersebut untuk membalas keterlibatan AS. Serangan drone terhadap dua situs minyak utama di Arab Saudi pada 2019, yang diklaim Houthi tetapi secara luas disalahkan pada Iran, sempat memangkas produksi minyak kerajaan itu hingga setengahnya.

2. Poros Perlawanan Iran

Sebuah jaringan kelompok militan di seluruh Timur Tengah yang dianggap bayangan dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 masih cukup punya taji. Meski disebut melemah, mereka masih memiliki kemampuan yang cukup berbahaya.

Perang 20 bulan Israel di Gaza telah melemahkan kelompok Hamas dan Jihad Islam Palestina, dan Israel telah menghantam Hezbollah di Lebanon pada musim gugur lalu, menewaskan sebagian besar pemimpinnya dan menghancurkan sebagian besar Lebanon Selatan. Hal itu membuat keterlibatan langsung Hezbollah tampak kecil.

Namun, Iran masih bisa mengandalkan Houthi, yang telah mengancam akan melanjutkan serangan di Laut Merah jika AS terlibat perang, serta milisi-milisi sekutunya di Irak. Keduanya memiliki kemampuan rudal dan drone yang memungkinkan mereka menargetkan AS dan sekutunya.

Iran juga bisa membalas melalui serangan milisi di luar negeri, seperti yang dituduhkan kepada mereka pada 1990-an dalam serangan terhadap pusat komunitas Yahudi di Argentina, yang dikaitkan dengan Iran dan Hezbollah.

Bisa jadi butuh beberapa hari atau minggu sebelum dampak penuh dari serangan AS terhadap situs nuklir Iran diketahui. Namun, para ahli sejak lama memperingatkan, bahkan serangan gabungan AS-Israel hanya akan menunda kemampuan Iran mengembangkan senjata, bukan menghentikannya. Iran telah menyebarkan program mereka ke berbagai lokasi di dalam negeri, termasuk fasilitas bawah tanah yang diperkuat.

Iran mungkin akan kesulitan memperbaiki atau membangun kembali program nuklir mereka saat pesawat tempur Israel dan AS masih berjaga di udara. Namun Iran bisa saja memutuskan untuk sepenuhnya mengakhiri kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT).

Iran berkeras programnya untuk tujuan damai, meskipun menjadi satu-satunya negara nonnuklir yang memperkaya uranium hingga 60 persen. Persentase itu hanya selangkah teknis dari tingkat senjata sebesar 90 persen.

Laporan intelijen AS dan IAEA menilai Iran tidak memiliki program senjata nuklir militer yang terorganisasi sejak 2003.

Israel diyakini secara luas sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir, meskipun tidak pernah mengakuinya secara resmi.(dwi)