Advokat Gugat UU Kementerian Negara, Minta MK Muat Larangan Wakil Menteri Rangkap Jabatan

Advokat Gugat UU Kementerian Negara, Minta MK Muat Larangan Wakil Menteri Rangkap Jabatan

Sebanyak 30 Wakil Menteri (Wamen) Kabinet Merah Putih yang merangkap jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memicu kontroversi. Praktik ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan pengawasan BUMN.

Menyikapi hal tersebut, advokat Viktor Santoso Tandiasa dijadwalkan mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/7).

Viktor merasa perlu menguji dan menegaskan Pasal 23 UU 39/2008 yang menyatakan "Menteri dilarang merangkap jabatan" dianggap bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai "Termasuk Wakil Menteri".

"Tujuannya agar Mahkamah Konstitusi tidak hanya memuat penjelasan pada bagian Pertimbangan hukum saja sebagaimana termuat dalam Putusan No. 80/PUU-XVII/2019 namun harus memuat dalam Amar Putusan sehingga menghilangkan perdebatan atas keberlakuan mengikat larangan rangkap jabatan tersebut," ujar Viktor dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/7).

Pemohon merasa memiliki tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang berprofesi sebagai advokat (Penegak Hukum) yang concern pada penegakan nilai-nilai konstitusionalisme karena selain pengacara, Viktor juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi yang telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.

Selain itu, pemohon menganggap kerugian konstitusional yang dialami bersifat spesifik dan aktual. Dengan adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian tersebut dan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian karena dengan dirangkapnya jabatan komisaris oleh wamen maka pengawasan di perusahaan-perusahaan milik negara menjadi tidak optimal sebagaimana tugas dan tanggung jawab dewan komisaris yg diatur dalam UU BUMN dan UU PT sehingga menyebabkan timbulnya kerugian-kerugian perusahaan dan terjadinya praktik korupsi, suap, klusi di BUMN.

"Hal itu tentunya berpengaruh kepada pemohon sebagai konsumen seperti contoh harus mendapatkan BBM oplosan saat mengisi BBM di SPBU Milik Pertamina. Oleh karenanya Viktor merasa memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon untuk menguji Pasal 23 UU 39/2008," tuturnya.

Menurut Viktor, Pasal 23 UU 39/2008, yang melarang Menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD, belum secara eksplisit tertulis mencakup wakil menteri.

Sementara penjelasan Mahkamah Konstitusi pada bagian pertimbangan hukum Putusan No. 80/PUU-XVII/2019 terhadap Pasal 23 UU 39/2008 berlaku juga untuk Wakil Menteri dinilai tidak mengikat, karena Objek Pasal yang di Uji dalam Putusan 80/PUU-XVII/2019 bukanlah Pasal 23.

Pasal 10 tentang kedudukan Wakil Menteri, sehingga penjelasan MK pada bagian pertimbangan hukum dinilai bukanlah merupakan "Ratio Decidendi" namun sejenis "Obitur Dicta" yang tidak mengikat. Hal ini yang mendasarkan Pemerintah melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan bahkan Ketua MPR RI berpendapat bahwa penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 80/PUU-XVII/2025 tidak mengikat.

"Sementara dalam Putusan No. 76/PUU-XVIII/2020 dan Putusan 21/PUU-XXIII/2025, mahkamah konstitusi tidak mempertimbangan Pokok Perkara sama sekali karena pada pokoknya Mahkamah Konstitusi menilai Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum," sambung Viktor.

Padahal menurut Viktor, rangkap jabatan Wakil Menteri sebagai komisaris di BUMN bertentangan dengan prinsip negara hukum, tata pemerintahan yang baik, dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurut Viktor, Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 telah menjelaskan bahwa larangan rangkap jabatan bagi menteri seharusnya berlaku pula bagi wakil menteri, mengingat pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri juga merupakan hak prerogatif Presiden.

Viktor juga menilai bahwa permohonan yang diajukannya tidak "nebis in idem" (dapat diajukan kembali) karena konstitusionalitas norma Pasal 23 UU 39/2008 belum pernah dinilai secara substansial oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan-putusan sebelumnya (No. 76/PUU-XVIII/2020 dan No. 21/PUU-XXIII/2025). Sementara Putusan No. 80/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 10 UU 39/2008, bukan Pasal 23.

Viktor menegaskan, praktik rangkap jabatan dapat menimbulkan konflik kepentingan, melemahkan tata kelola perusahaan / Good Corporate Governance (GCG), dan berpotensi melemahkan pengawasan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, serta mengakibatkan kinerja perusahaan yang tidak maksimal.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk:

Menyatakan Pasal 23 UU 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap frasa "Menteri dilarang merangkap jabatan" bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai: "Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan".

Sehingga Bunyi Frasa Selengkapnya: “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. (Pon)