Kisah Tita Delima, dari Digaji Rp 20.000 Sehari hingga Digugat Rp 120 Juta oleh Mantan Tempat Kerja

Tita Delima, seorang perempuan muda asal Boyolali, akhirnya bisa bernapas lega.
Setelah berbulan-bulan menghadapi tekanan hukum, Pengadilan Negeri Boyolali pada Jumat (1/8/2025) resmi menolak gugatan senilai Rp 120 juta yang diajukan oleh mantan tempat kerjanya, sebuah klinik gigi di Solo Baru.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang elektronik yang dipimpin oleh hakim tunggal Teguh Indrasto.
Gugatan dianggap cacat formil dan tidak dapat diterima oleh pengadilan.
Dari Perawat Bergaji Rp 20.000 ke Gugatan Rp 120 Juta
Kisah Tita dimulai saat ia bekerja sebagai perawat di klinik gigi tersebut. Pada masa awal percobaan, ia hanya menerima upah Rp 20.000 per hari.
Setelah masa pelatihan, gajinya naik bertahap, Rp 1,8 juta, kemudian Rp 2 juta, dan terakhir Rp 2,4 juta per bulan pada September 2023.
“Awal masuk saya hanya digaji Rp 20.000 per hari selama masa percobaan satu bulan,” ujar Tita Delima, Rabu (30/7/2025)
Pada akhir 2024, Tita memutuskan mengundurkan diri karena alasan ketidaknyamanan dan keinginan membangun usaha kecil-kecilan di bidang kuliner.
Namun, langkah itu justru berbuntut panjang, ia digugat Rp 120 juta oleh pihak klinik.
“Saya tidak pernah berniat melanggar kontrak atau merugikan siapa pun,” kata Tita Delima
Gugatan itu terdiri atas dua komponen. Pertama, Rp 50 juta sebagai pengganti gaji dua tahun yang diklaim pihak klinik sebagai hak mereka.
Kedua, Rp 70 juta atas kerugian immateriil karena merasa komitmen kerja dilanggar.
"Dalam berkas perkara tertulis Rp 50 juta itu sebagai bentuk penggantian gaji selama dua tahun. Sisanya Rp 70 juta karena perusahaan merasa kecewa dan sakit hati karena Tita dianggap melanggar komitmen,” ujar drg. Maria Santiniaratri, Co-Founder Symmetry, mantan tempat kerja Tita.
Putusan Pengadilan: Gugatan Tak Dapat Diterima
Juru Bicara Pengadilan Negeri Boyolali, Tony Yoga Saksana, menyatakan bahwa hakim memutuskan untuk tidak menerima gugatan karena mengandung cacat formil.
Salah satu alasan utamanya adalah tidak jelasnya dasar hubungan kerja antara penggugat dan tergugat.
"Jadi hari ini tadi sudah diputus oleh hakim," ujar Tony Yoga Saksana, Jumat (1/8/2025)
Tony menjelaskan bahwa dalam posita gugatan, penggugat menyebut diri sebagai pemberi kerja, namun dalam dokumen pembuktian, kerja sama justru dilakukan dengan pihak lain.
“Dari hasil pemeriksaan yang kemudian didasarkan pada bukti yang diajukan ternyata dalam perjanjian kerja sama yang menandatangi kerja sama itu bukan penggugat dan tergugat. Tapi tergugat dengan orang lain selain penggugat. Karena dasar gugatannya adalah adanya kerja sama tadi maka ini menurut hakim menjadi kabur,” tutur Tony Yoga Saksana
Dengan demikian, tidak ada dasar hukum yang cukup untuk melanjutkan gugatan tersebut.
Ilustrasi gugatan hukum.
Apa Itu Gugatan Cacat Formil?
Secara hukum, gugatan dinyatakan "cacat formil" jika tidak memenuhi syarat administratif dan substansi hukum yang sah.
Dalam kasus Tita, hubungan hukum antara kedua belah pihak tidak terbukti jelas, karena perjanjian kerja sama tidak dilakukan antara Tita dan penggugat secara langsung.
Hal ini bertentangan dengan asas locus standi (kedudukan hukum), yang mengharuskan pihak penggugat memiliki kepentingan langsung terhadap objek gugatan.
Menurut UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan hukum acara perdata, jika gugatan mengandung kekaburan pihak dan dasar hukum, maka hakim berwenang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/N.O.).
Putusan Masih Bisa Dikejar dengan Keberatan
Meski gugatan ditolak, pihak penggugat masih memiliki hak untuk mengajukan keberatan dalam waktu tujuh hari sejak putusan dibacakan.
"Keberatan ini tenggang waktunya tujuh hari setelah putusan," kata Tony Yoga Saksana.
Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada informasi lanjutan apakah pihak klinik akan mengambil langkah hukum tersebut.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .