Setelah ‘Quiet Quitting’, Kini Muncul Fenomena Baru di Kantor: “Quiet Cracking”

quiet quitting, quiet cracking, kondisi ekonomi tidak menentu, Setelah ‘Quiet Quitting’, Kini Muncul Fenomena Baru di Kantor: “Quiet Cracking”

Beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting sempat jadi simbol masalah di dunia kerja. Namun kini, ada tantangan baru yang patut diwaspadai para atasan: quiet cracking.

Frank Giampietro, Chief Well-being Officer EY Americas, menjelaskan bahwa quiet cracking terjadi saat karyawan tetap hadir dan menjalankan pekerjaannya, tetapi diam-diam sedang berjuang menghadapi tekanan. 

Mereka terlihat “baik-baik saja” di permukaan, namun sebenarnya tidak berkembang atau merasa bahagia di tempat kerja sehingga retak dalam diam (quiet cracking).

"Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah banyak orang yang sebenarnya bertahan dengan perusahaan tempat mereka bekerja saat ini, tetapi mereka tidak benar-benar berkembang," ujarnya.

Fenomena ini muncul karena situasi pasar kerja yang lesu. Banyak karyawan enggan pindah kerja meski tidak puas dengan posisinya, sebab kondisi ekonomi tidak menentu, peluang kerja terbatas, dan proses perekrutan melambat.

Bahkan, data menunjukkan bahwa pindah kerja sekarang justru bisa lebih merugikan secara finansial dibanding bertahan di perusahaan lama.

"Banyak yang merasa terjebak dan itu bukan karena mereka membuat pilihan untuk terus berada di sana, tetapi karena mereka tak punya pilihan lain yang lebih baik," kata Giampietro.

Dampaknya serius: keterlibatan dan kepuasan kerja menurun, moral tim tergerus, produktivitas anjlok, dan risiko burnout meningkat. Laporan Gallup terbaru bahkan mencatat keterlibatan karyawan global turun dari 23 persen menjadi 21 persen pada 2024, yang berarti kerugian produktivitas mencapai sekitar 438 miliar dolar AS.

quiet quitting, quiet cracking, kondisi ekonomi tidak menentu, Setelah ‘Quiet Quitting’, Kini Muncul Fenomena Baru di Kantor: “Quiet Cracking”

Ilustrasi karyawan mengalami stres.

Giampietro mengingatkan, gejala quiet cracking sering menyerupai tanda-tanda burnout, meski skalanya mungkin lebih ringan. Bisa muncul keluhan fisik seperti sakit kepala, cepat lelah, atau sering absen karena sakit.

"Performa pun bisa berubah, misalnya seorang top performer mulai tidak konsisten, atau rekan kerja yang biasanya ceria jadi pendiam dan pesimis," ujarnya.

Atasan perlu lebih peka

Kuncinya, para atasan perlu peka pada perubahan perilaku anggota tim. Jangan langsung menganggap ini masalah kinerja. Sebaliknya, ajak berdialog secara personal.

"Sesederhana mengatakan: 'Saya perhatikan ada perubahan, boleh kita ngobrol? Saya cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja', saran Giampietro.

Tantangan ini semakin berat karena minat perusahaan pada kesejahteraan karyawan yang sempat naik saat pandemi kini mulai meredup.

Di tengah situasi ekonomi saat ini fokus banyak organisasi bergeser ke efisiensi biaya, sehingga dukungan bagi karyawan justru berkurang di saat mereka paling membutuhkannya.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!