Rabu Wekasan Menurut Islam, Antara Tradisi dan Larangan Tathayyur

Rabu (20/8/2025) bertepatan dengan Rabu terakhir di bulan Safar 1447 H atau juga dikenal sebagai Rabu Wekasan dalam tradisi masyarakat Indonesia.
Rabu Wekasan atau Rebo Pungkasan diyakini sebagai hari turunnya bala atau musibah.
Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi Rabu Wekasan?
Rabu Wekasan Menurut Islam
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Miftahul Huda, menjelaskan bahwa penentuan hukum terhadap suatu tradisi tidak bisa dilakukan secara gegabah.
Harus ada pemahaman utuh mengenai asal-usul dan praktik tradisi tersebut.
“Rebo Wekasan sebagai suatu nama atau istilah, tidak bisa dihukumi sampai diketahui deskripsi yang utuh mengenai nama atau istilah tersebut. Sebagaimana kaidah dalam keilmuan Islam: al-hukmu ‘ala asy-syai’i far’un ‘an tashawwuri-hi, artinya menentukan status hukum terhadap sesuatu harus dibangun atas gambaran yang tepat tentang sesuatu itu,” jelas Kiai Miftah, dikutip dari MUIDigital, Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, tradisi Rebo Wekasan perlu ditelaah dari aspek akidah (keyakinan), ibadah, dan muamalah (hubungan sosial).
Keyakinan Turunnya Bala di Rabu Wekasan Tidak Berdasar Dalil
Sebagian masyarakat meyakini bahwa pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan berbagai penyakit dan musibah. Akan tetapi, Kiai Miftah menegaskan keyakinan ini tidak memiliki landasan dalil yang sahih.
“Mayoritas ulama menyatakan tidak ada dalil yang sahih untuk mendasari keyakinan ini. Justru, meyakini turunnya takdir buruk pada hari tertentu dapat menjerumuskan seseorang ke dalam tathayyur atau thiyarah, yaitu kepercayaan terhadap pertanda sial, yang dilarang Nabi Muhammad SAW,” tegasnya.
Simak kalender Jawa 12 Agustus 2025 yang bertepatan dengan weton Selasa Legi, lengkap dengan karakter kelahirannya serta panduan menurut primbon Jawa.
Ia mengutip hadis Nabi SAW:
“Tidak ada penularan (tanpa izin Allah), tidak ada kesialan karena burung, tidak ada hantu, tidak ada bulan Safar (yang dianggap sial), dan larilah dari orang yang terkena lepra seperti kamu lari dari singa.” (HR. Muslim no. 2220).
Dengan demikian, menjauhi pernikahan, bepergian, atau memulai usaha pada hari tersebut karena takut sial termasuk tathayyur yang dilarang dan bisa merusak akidah.
Namun, bila seseorang memilih waktu tertentu untuk beribadah atau memulai sesuatu karena dianggap lebih baik (afdhal), maka hal itu tidak termasuk dalam larangan.
Tradisi Rabu Wekasan di Masyarakat
Meski tidak memiliki dasar hukum syariat, tradisi Rabu Wekasan tetap lestari di sejumlah daerah di Indonesia.
Praktiknya beragam, mulai dari doa bersama, tahlilan, shalat sunnah, hingga kenduri sebagai ungkapan syukur dan doa keselamatan.
Sejarah mencatat, tradisi ini sudah dikenal sejak masa Wali Songo.
Kala itu, diyakini pada bulan Safar Allah SWT menurunkan ratusan penyakit, sehingga umat Muslim dianjurkan memperbanyak doa dan ibadah sebagai bentuk ikhtiar spiritual.
Di berbagai daerah, tradisi Rabu Wekasan hadir dengan nama dan ritual berbeda, misalnya Rebo Pungkasan di Yogyakarta, Rabu Abeh di Aceh, Dudus di Banten, hingga Mandi Safar di Maluku.
Meski bentuknya berbeda, inti dari tradisi tersebut adalah doa bersama memohon keselamatan.
Bagaimana Sikap Muslim soal Rabu Wekasan?
Dalam perspektif Islam, keyakinan bahwa Rabu terakhir bulan Safar adalah hari turunnya bala tidak memiliki dasar dalil yang kuat.
Justru, mengaitkan kesialan dengan hari tertentu termasuk dalam larangan tathayyur.
Namun, jika tradisi Rebo Wekasan diisi dengan doa, dzikir, dan ibadah tanpa keyakinan adanya “hari sial”, maka kegiatan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk ikhtiar spiritual sekaligus kearifan budaya lokal.
Islam menekankan bahwa segala musibah dan takdir baik atau buruk datang semata-mata atas izin Allah SWT, bukan karena hari atau bulan tertentu.
Sebagian artikel ini telah tayang di KOMPAS.com dengan judul .
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!