Bagaimana Hukum Tradisi Rabu Wekasan Menurut Islam? Ini Penjelasan MUI

Majelis Ulama Indonesia, rabu wekasan, Rebo Wekasan, Rebo Wekasan 2025, Bagaimana Hukum Tradisi Rabu Wekasan Menurut Islam? Ini Penjelasan MUI

Rabu Wekasan adalah tradisi yang dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriah.

Tradisi ini juga dikenal dengan istilah Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan yang bermakna hari Rabu terakhir.

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Rabu Wekasan akan jatuh 26 Safar 1447 H atau pada 20 Agustus 2025.

Hal ini karena hari terakhir bulan Safar 1447 H akan berakhir pada 24 Agustus 2025 dan umat Islam memasuki bulan Rabiul Awal atau Mulud.

Pelaksanaan tradisi Rebo Wekasan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, hingga Maluku.

Sebagian masyarakat meyakini hari tersebut sebagai waktu turunnya bala atau musibah.

Pandangan MUI tentang Tradisi Rabu Wekasan

Dilansir dari laman MUI Digital, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Miftahul Huda, menjelaskan bahwa penentuan hukum suatu tradisi, temasuk Tradisi Rabu Wekasan harus diawali dengan pemahaman yang utuh mengenai tradisi itu. 

“Rebo Wekasan sebagai suatu nama atau istilah, tidak bisa dihukumi sampai diketahui deskripsi yang utuh mengenai nama atau istilah tersebut. Sebagaimana kaidah dalam keilmuan Islam:

الحكم على الشيء فرع عن تصوره

Artinya: ‘Menentukan status hukum (justifikasi) terhadap sesuatu harus dibangun atas dasar gambaran yang tepat tentang sesuatu itu,’” jelas Kiai Miftah.

Kepada MUIDigital, Selasa (19/8/2025), Kiai Miftah menjelaskan bahwa tradisi Rebo Wekasan memiliki berbagai aspek yang harus ditelaah sebelum ditentukan hukumnya, yakni aspek akidah (keyakinan), ibadah, dan muamalah (hubungan sosial serta kebiasaan).

Keyakinan Turunnya Bala Tidak Berdasar Dalil

Menurut Kiai Miftah, sebagian orang berkeyakinan bahwa pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan berbagai jenis bala atau penyakit.

Keyakinan ini, kata dia, tidak memiliki dasar dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Mayoritas ulama menyatakan tidak ada dalil yang sahih untuk mendasari keyakinan ini. Justru, meyakini turunnya takdir buruk pada hari tertentu dapat menjerumuskan seseorang ke dalam tathayyur atau thiyarah kepercayaan terhadap pertanda sial, yang dilarang Nabi Muhammad SAW,” jelasnya.

Kiai Miftah juga mengutip hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Muslim, yang berbunyi:

لا عَدْوَى و لا طيرةَ و لا هامةَ و لا صَفرَ ، و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسد

Artinya: "Tidak ada penularan (tanpa izin Allah), tidak ada kesialan karena burung, tidak ada hantu, tidak ada bulan Safar (yang dianggap sial), dan larilah dari orang yang terkena lepra seperti kamu lari dari singa." (Shahih Muslim, no 2220).

Tathayyur sendiri secara bahasa adalah masdar dari kata tathayyara asal mulanya diambil dari kata atthayru (burung).

Dahulu, orang Arab jahiliyah mempercayai adanya hal-hal kejadian tertentu yang dapat

menyebabkan atau mengundang sial, yang biasa disebut tathayyur.

Kiai Miftah menambahkan, sikap menghindari aktivitas penting seperti menikah, bepergian, atau memulai usaha pada hari tersebut karena takut sial termasuk bentuk tathayyur yang dilarang dan bisa merusak keyakinan.

Namun, jika seseorang memilih waktu tertentu dengan keyakinan bahwa hari itu lebih afdhal atau lebih baik, maka hal tersebut tidak termasuk tathayyur.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!