ODOL Masih Merajalela: Dosa Siapa? Sopir, Pemilik, atau Pembiaran Sistemik?

Kecelakaan truk dan angkutan barang masih menjadi cerita harian di jalanan Indonesia. Data mencatat, armada truk menduduki peringkat kedua penyebab kecelakaan lalu lintas, meski jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding kendaraan roda empat.
Ironisnya, kecelakaan ini kerap dipicu oleh praktik over dimension over load (ODOL) yang hingga kini tak kunjung dibereskan.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua MTI Pusat, mengatakan, kecelakaan angkutan logistik setiap hari terjadi di negeri ini, bahkan bisa mencapai tujuh kali kejadian dalam sehari.
Sebuah truk pengangkut galon AMDK mengalami kecelakaan akibat dugaan kelebihan muatan, menyoroti kembali bahaya praktik ODOL di jalan raya.
“Pengawasan terhadap operasional angkutan barang belum maksimal. Memang ini punya konsekuensi terhadap tarif angkutan barang. Tidak masalah, yang paling penting adalah keselamatan bertransportasi bagi semua warga terjamin,” ujar Djoko, kepada Kompas.com (26/8/2025).
Persoalan truk ODOL bukan hanya tentang sopir yang kelelahan atau lalai. Rantai masalahnya jauh lebih kompleks: biaya perawatan minim, upah sopir yang rendah, hingga pungli di jalan.
Djoko menilai, liberalisasi angkutan barang yang hanya menekankan efisiensi tarif tanpa standar keselamatan menjadi biang kerok.
Ilustrasi penindakan truk ODOL
“Liberalisasi di sisi tarif sementara standar keselamatan dan norma-norma lainnya diabaikan. Hal ini tidak bisa dibiarkan, karena aspek keselamatan yang dikorbankan dan kecelakaan yang sama akan berulang,” ujarnya.
Lebih miris lagi, pengemudi kerap menjadi kambing hitam. Jika selamat dari kecelakaan, mereka berisiko ditetapkan sebagai tersangka; jika meninggal, keluarganya yang menanggung derita.
Padahal, menurut Djoko, jarang sekali pengusaha angkutan barang dan pemilik barang diperkarakan. Andai diperkarakan pun biasanya setelah ada desakan dari media sosial.
Sejumlah warga melihat bangkai truk trailer yang mengalami kecelakaan di Jalan Semarang-Solo, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (17/5/2022). Berdasarkan data Satlantas Polres Boyolali, dalam peristiwa kecelakaan yang melibatkan dua truk trailer tersebut mengakibatkan dua orang meninggal dan dua orang luka ringan.
Fakta lain yang tak kalah memprihatinkan adalah keterlibatan banyak pihak dalam tata kelola logistik. Sedikitnya ada 12 kementerian dan lembaga yang punya kewenangan, namun koordinasi masih lemah.
Bahkan, sejumlah proyek pemerintah sendiri masih memanfaatkan truk ODOL. Kondisi ini membuat publik bertanya: siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab?
Djoko menekankan pentingnya pembenahan menyeluruh, mulai dari perekrutan sopir, regulasi jam kerja, upah standar, hingga pembangunan terminal barang yang layak.
“Bisnis angkutan truk harus ditata agar lebih profesional. Wajib memiliki sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang benar, serta pendapatan minimal bagi pengemudi,” ucap Djoko.
Akhirnya, pertanyaan besar mengemuka: apakah dosa ODOL ini harus selalu ditanggung sopir di lapangan? Ataukah justru pemilik, regulator, hingga negara yang selama ini melakukan pembiaran sistemik?
Djoko mengingatkan, saatnya pemerintah bertindak secara cerdas dan terencana. Tidak bertindak secara reaktif saja, ketika ada masalah teriak-teriak, tetapi setelah lewat masalahnya lupa, dan nanti teriak lagi saat muncul masalah lagi.
“Kalau sudah bertindak cerdas dan terencana tapi kecelakaan lalu lintas masih tetap terjadi, baru kita bisa bilang itu nasib. Tetapi kalau kondisi pembiaran itu terjadi terus menerus, tidak bisa dikatakan itu nasib dan tidak bisa pula kesalahannya dibebankan pada masyarakat. Pemerintah harus bertanggungjawab,” katanya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!