Temuan Komnas HAM di Balik Persekusi Retreat Kristen di Cidahu Sukabumi, Pengusiran hingga Perusakan

Temuan Komnas HAM di Balik Persekusi Retreat Kristen di Cidahu Sukabumi, Pengusiran hingga Perusakan

Kasus pembubaran retreat Kristen di Cidahu, Jawa Barat beberapa waktu lalu kini memasuki babak baru. Komnas HAM telah melakukan pengamatan situasi hak asasi manusia melalui observasi dan permintaan informasi terkait peristiwa persekusi terhadap sekelompok remaja Kristen yang tengah melaksanakan kegiatan retret di sebuah itu.

Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi menuturkan, dari informasi yang dihimpun dari korban, masyarakat setempat, aparat kepolisian, dan pemerintah daerah disimpulkan telah terjadi bentuk pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Termasuk hak kebebasan berkumpul, serta hak atas rasa aman,” kata Pramono dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/7).

Dalam insiden tersebut, para peserta retret mengalami intimidasi, pengusiran secara paksa, perusakan kendaraan dan fasilitas tempat tinggal.

Tindakan persekusi tersebut terjadi karena adanya penolakan oleh sebagian warga sekitar yang merasa terganggu dengan kegiatan kerohanian yang dilakukan oleh sekelompok remaja dan adanya kesalahpahaman atas status villa yang dianggap dijadikan sebagai rumah ibadah.

“Insiden persekusi tersebut tidak hanya melukai nilai-nilai toleransi yang dijamin oleh konstitusi, tetapijuga menciptakan rasa takut dan trauma, khususnya bagi para peserta yang sebagian besar berusia remaja,” ungkap Pramono.

Dia meminta Polisi melakukan proses hukum secara profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan, terutama bagi para korban.

“Termasuk memberikan perlindungan kepada para korban, terutama keluarga pengelola villa agar dapat melanjutkan kehidupan dengan aman dan nyaman seperti sediakala,” jelas Pramono.

Pramono pun meminta kepada Pemprov Jawa Barat untuk memastikan implementasi jaminan konstitusional atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di seluruh wilayah, termasuk di tingkat lokal.

“Salah satunya dengan menyusun kebijakan afirmatif untuk mencegah tindakan intoleran dan diskriminatif di ruang publik maupun privat,” tutup Pramono. (Knu)