Anak Terlanjur Kecanduan Konten Meme Anomali, Ini 6 Dampaknya yang Harus Diketahui Orangtua

JAKARTA, KOMPAS.com - Konten meme anomali adala konten yang menyajikan karakter Italian brainrot seperti Tung Tung Tung Sahur, Ballerina Cappuccina, dan Tralalero Tralala.
Para karakter merupakan kombinasi dari hewan dengan manusia, hewan dengan benda, dan manusia dengan benda. Sebagian besar konten lebih cocok dikonsumsi oleh orang dewasa.
Sebab, narasi yang disajikan berbau hal-hal seperti perselingkuhan, pembunuhan, penistaan agama, dan bahkan berbau seksual. Cerita antara karakter pun mengandung unsur-unsur seperti itu.
Psikolog klinis dan remaja yang berpraktik di Sentra Pendidikan Khusus Amadeus, Manado, Sulawesi Utara, Alida Shally Maulinda, M.Psi., mengatakan bahwa dampaknya cukup beragam pada psikologis anak-anak yang sudah terpapar oleh konten-konten tersebut.
“Kalau anak belum paham dengan adanya konsep hewan, kendaraan, jenis-jenis pekerjaan, atau makanan dan minuman, jadinya kebingungan. Jadinya, yang dia lihat, itulah yang nyata menurut dia,” tutur dia saat dihubungi pada Jumat (11/7/2025).

Bentuk paparan yang seperti apa?
Sebelum membahas lebih lanjut tentang dampak psikologis dari paparan konten meme anomail terhadap anak-anak, kamu perlu memahami dulu bentuk paparannya seperti apa.
Menurut Alida, paparan bisa terjadi dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada anak yang terpapar, tetapi sekadar tahu tentang konten meme anomali.
“Kadang mungkin mereka tahu gambar-gambar karakter ini, atau mungkin mereka bermain dan pura-pura jadi karakter ini,” terang dia.
Memahami cara berpikir anak
Selanjutnya, orangtua perlu memahami cara berpikir anak tentang meme anomali tersebut. Sebab, meme anomali mengadopsi konsep yang mencampurkan beberapa hal untuk menciptakan sebuah karakter.
Misalnya saja karakter Ballerina Cappuccina yang menggabungkan profesi ballerina dengan minuman kopi jenis cappuccino.
Ada pula karakter Bombardino Crocodilo yang menggabungkan hewan buaya dengan kendaraan jenis pesawat.
Alida menjelaskan, beberapa anak belum paham betul dengan adanya konsep tersebut. Bahkan, terkadang mereka masih suka tertukar antara hewan dan tanaman. Misalnya, ada anak yang memahami bahwa gajah bukanlah hewan, melainkan sebuah tanaman.
Ada pula yang masih suka terbalik dengan menganggap wortel dan brokoli adalah jenis buah-buahan, bukan sayuran.
“Kalau seperti itu, masih belum matang artinya belum paham betul, dia belum tahu suatu benda seperti apa, sehari-hari untuk apa, dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk apa, anak jadi kebingungan,” tutur Alida.
Ia berpikir bahwa apa yang dilihat saat menonton konten meme anomali adalah kenyataan. Sebab, cara berpikir anak dimulai dari konkret ke abstrak.
Anak berpikir dari sesuatu yang nyata dulu, yang dilihat, didengar, dan disentuh, lalu disimpan ke dalam proses berpikirnya secara abstrak.
“Jadi, hal yang ditonton adalah ballerina yang bercampur dengan cappuccino dalam satu tokoh. Bisa jadi, dia melihat ini sebagai sesuatu yang nyata, ‘Oh, ada ya ternyata di dunia ini bentuknya seperti itu, ballerina dan cappuccino. Ada ya tokoh-tokoh ini di kehidupan saya’,” kata Alida.
Dampak psikologis konten meme anomali pada anak
1. Tak bisa membedakan fiksi dan realita
Menurut Alida, hal tersebut berdampak pada akademis si kecil. Misalnya, anak disuruh menggambar hewan saat jam pelajaran.
Bukannya menggambar hewan, anak malah menggambar hewan yang tergabung dengan benda lain, seperti Bombardino Crocodilo yang merupakan penggabungan antara buaya dengan pesawat.
“Pun misalnya sebaliknya. Ketika disuruh gambar kendaraan, yang digambar itu juga. Kendaraan jadi tercampur-campur konsepnya di dalam proses berpikir anak,” jelas dia.
“Itu yang menjadi kesulitan anak nantinya untuk memahami dunianya. Karena yang dipelajari saat ini adalah sesuatu yang bukan sebenarnya,” sambung Alida.
Psikolog klinis anak dan remaja yang berpraktik di Layanan Psikologi JEDA, Bandar Lampung, bernama Nanda Erfani Saputri, M.Psi. menerangkan, ini berkaitan dengan Teori Piaget, yang juga dikenal dengan Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget.
anak berusia dua sampai tujuh tahun, yang mana mereka masih dalam tahap perkembangan praoperasional, cara berpikirnya masih simbolis, belum memakai proses kognitif yang tinggi seperti logika.
Jadi, mereka belum bisa memilah informasi yang diterima, untuk menentukan konsep apa yang tepat untuk informasi tersebut, seperti buaya adalah hewan dan pesawat adalah kendaraan.
Sementara pada anak di usia sekolah yakni tujuh tahun ke atas, mereka sudah berada di tahap perkembangan oerasional konkret. Pemahaman akan informasi yang diterima sudah lebih matang. Mereka sudah lebih bisa berpikir secara rasional dan logis.
“Kalau misalnya anak yang terpapar ini usianya masih tiga atau empat tahun, tentu akan memengaruhi bagaimana mereka menciptakan pola, mengkonsepkan pengetahuannya,” jelas Nanda, Jumat.
2. Memengaruhi aspek bahasa, bicara, dan moral.
Aspek perkembangan anak bukan hanya kognitif, tetapi juga bahasa dan bicara. Keduanya bisa terdampak oleh konten meme anomali.
Kemampuan anak untuk berbicara bisa “terputus-putus” seperti robot mengikuti suara yang menarasikan video konten anomali, bukan berbicara lancar seperti manusia pada umumnya.
“Kalau dari kompleksitas bahasanya juga kan sangat berbeda dengan yang kita gunakan sehari-hari,” kata Nanda.
Jika seharusnya kosa kata anak sudah lebih kaya dengan mendengar ayah dan ibunya berbicara, serta suara orangtua yang suka membacakan buku, konten meme anomali bisa membatasinya.
“Aspek perkembangan moral juga (terpengaruh). Sebagai yang kita tahu, konten anomali itu bahkan ada yang seekstrem tentang bunuh diri, yang mana ini enggak oke untuk anak-anak,” ucap Nanda.
“Sementara, di fase ini, anak memang sedang menyerap pengetahuan, kemampuan berbahasa, nilai-nilai moral, dari lingkungan. Sehingga, ini perlu menjadi hal yang diwaspadai oleh orangtua karena berisiko mengancam,” lanjut dia.
3. Memengaruhi daya berpikir kritis
Nanda mengatakan, paparan konten meme anomali juga memengaruhi daya berpikir kritis anak, terutama jika mereka tidak memiliki wadah untuk mengkritisi konten-konten tersebut. Misalnya adalah mendiskusikan apa yang baru ditonton dengan orangtua.
4. Fokus dan daya ingat anak terganggu
Konten meme anomali umumnya fast-paced. Perubahan karakter, gerakan, dan warnanya terlalu cepat untuk diikuti oleh anak-anak. Konten fast-paced berisiko membuat anak mengalami sensory overload.
“Ketika overload, ini secara berkala semakin mengurangi kemampuan anak untuk bisa fokus. Padahal fokus itu jembatan pertama anak untuk memproses informasi,” jelas Nanda.
Fokus yang berkuang memengaruhi kemampuan anak untuk memproses informasi, yang berujung pada kemampuan daya ingat yang kurang optimal.
“Karena sudah overload, akhirnya berpengaruh ke kemampuan anak mengontrol impuls mereka. Makanya sekarang sering banget ada keluhan anaknya (terlalu) aktif dan segala macam. Salah satunya bisa juga dipengaruhi oleh tayangan,” tutur dia.
Terkait kurang fokus, ilmuwan otak sekaligus Dekan FK UN Veteran Jakarta Dr. Dr. Taufiq Pasiak M.Kes., M.Pd.I. menuturkan, in berkaitan dengan korteks prefrontal anak.
Korteks prefrontal adalah bagian otak yang terletak di bagian paling depan lobus frontal, seperti yang dituturkan dia saat diwawancarai oleh Kompas.com pada Mei lalu.
Fungsinya adalah untuk memandu manusia dalam mengambil keputusan, merencanakan masa depan, mengontrol diri, serta melihat konsekuensi dan risiko dari suatu tindakan.
Bagian ini juga yang diandalkan oleh manusia ketika sedang memerhatikan sesuatu. Mereka membantu manusia untuk fokus.
Pada anak-anak, Taufik mengungkapkan bahwa korteks prefrontal belum berkembang dengan matang.
“Jadi, kemampuan anak untuk self-control, fokus, dan planning, enggak bagus. Berjumpa dengan konten seperti itu, efek kejutan yang anti-mainstream menyenangkan sekali buat anak. Tapi lama kelamaan, karena (video) begitu cepat berubah, anak tidak terlatih untuk fokus,” papar dia.
Terkait efek kejutan (shocking effect), konten meme anomali memilikinya dari segi desain karakter yang tidak biasa, warna yang lebih kontras, pengulangan kata laiknya tongue twister, dan narasi.
Menurut Taufiq, anak-anak menyukai konten "penuh kejutan", karena menurut mereka lebih menghibur dibandingkan dengan konten konvensional.
5. Gangguan emosi
Anak juga bisa mengalami gangguan emosi. Sebab, apa yang ditampilkan oleh konten meme anomali tidak sesuai dengan realita.
Sebagai contoh, ada sebuah konten yang menggambarkan “Tung tung tung sahur” memukuli “Ballerina cappuccina”, tetapi sambil tersenyum.
Padahal, aksi kekerasan tidak seharusnya ditampilkan dengan ekspresi wajah tersenyum, yang umumnya menggambarkan kegembiraan.
“Anak tidak bisa membedakan ini serius atau bercanda. Dia kehilangan tilikan terhadap realita kalau (ditonton) berulang, ini (kondisi) yang sudah kronis, bukan yang (menonton) sesekali saja,” kata Taufiq.
Ketika anak sudah terlalu sering terpapar dengan konten seperti itu, mereka bakal kesulitan membedakan realita dan meregulasi emosi. Mereka tidak bisa membedakan mana yang serius dan bercanda.
“Saya pernah menonton, ada adegan kekerasan, tapi figur dalam film itu tertawa. Ini kan di luar realita, mengganggu dalam regulasi emosi,” sambung Taufiq.
6. Mengganggu imajinasi
Umumnya, konten anak-anak memiliki alur cerita. Dalam tema yang disuguhi, ada sebab dan akibat dari suatu peristiwa. Misalnya konten tentang cara mengikat tali sepatu.
Jika anak tidak bisa mengikat tali sepatu, mereka bisa terjatuh saat berjalan atau berlari.
Anak yang menonton bisa mengikut alur cerita, yang mana ini berkaitan dengan kemampuan anak untuk berpikir secara terstruktur alias tidak melompat-lompat.
“Itu (konten meme anomali) kan tidak ada plot, tidak ada sebab dan akibat. Logika anak dirusak. Akibat yang terjadi adalah anak kehilangan kemampuan berpikir, yang disebut dengan metakognisi,” ungkap Taufiq.
Metakognisi adalah kemampuan manusia untuk memikirkan, memahami, dan mengontrol proses berpikir sendiri.
"Yang kemudian terjadi adalah cara berpikir yang melompat-lompat, karena anak tidak bisa mendeteksi mana sebab dan mana akibat,” kata dia.