Kebiasaan Menumpuk Barang, Wajar atau Tanda Hoarding Disorder?

Ketika seseorang sulit membuang atau menjual barang-barang yang telah disimpan sejak lama, banyak yang menganggap perilaku ini termasuk hoarding disorder.
Sebab, menurut kebanyakan masyarakat, hoarding disorder mengacu pada orang-orang yang suka menimbun banyak barang, karena tidak ingin menjual atau membuangnya.
Kendati demikian, benarkah hal itu disebut hoarding disorder?
Simak penjelasan psikolog klinis yang berpraktik di Personal Growth, Shierlen Octavia, M.Psi.
Menurutnya, orang-orang yang suka mengumpulkan barang dan enggan menjual atau membuangnya, belum tentu mengidap hoarding disorder.
"Kalau hoarding saja, bisa jadi iya. Tapi apakah disorder? Kita enggak bisa bilang begitu juga," ujar Shierlen saat dihubungi pada Rabu (13/8/2025).
Dikutip dari situs resmi RS Mitra Keluarga, hoarding disorder adalah gangguan mental di mana seseorang mengalami kesulitan parah untuk membuang atau melepas barang-barang, terlepas dari nilai barang tersebut.
Alhasil, penumpukan barang di tempat tinggal bakal terjadi, sehingga dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Beberapa gejalanya mencakup suka menimbun banyak barang, sulit membuang atau menjual barang, sulit merapikan barang, dan merasa cemas, marah, atau panik saat hendak membuang barang.
Gejala lainnya mencakup cemas karena merasa bakal membutuhkan barang yang ditimbun di kemudian hari, serta ruangan tempat ia menimbun barang jadi tidak berfungsi karena terlalu banyak barang.
Shierlen melanjutkan, hoarding disorder adalah kondisi klinis yang tergolong ekstrem.
Beda hoarding dengan hoarding disorder
Lantas, apa bedanya hoarding alias mengumpulkan barang dengan hoarding disorder?
"Bedanya, kalau hoarding disorder, adalah ketika orang ini tidak menimbun barang, maka akan timbul rasa tidak nyaman," jelas dia.
Bahkan, perasaan tidak nyaman itu bisa sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, misalnya ketika ia harus pergi ke kantor dan bekerja.
Alih-alih berangkat kerja, ia justru tidak bisa berfungsi karena merasa sangat cemas dengan barang-barangnya.
Bisa pula ia tidak bisa beraktivitas di dalam rumah karena barang yang ditimbun sudah sangat banyak, dan berujung pada stres karena secara fisik sulit bergerak.
"Kemudian dia jadi sangat perfeksionis ketika melihat ada satu barang yang hilang. Dia langsung tidak tenang atau stres sekali yang signifikan," kata Shierlen.
Sementara itu, hoarding adalah orang yang hanya gemar mengumpulkan barang dan enggan membuangnya karena alasan tertentu.
Misalnya adalah karena barang berpotensi akan digunakan kembali di kemudian hari.
Alasan lainnya adalah kualitas yang tahan lama sampai saat ini.
Misalnya, sepasang sepatu yang mengalami kerusakan hanya di bagian belakang karena sering dipakai dengan cara menginjak bagian belakang.
Namun, secara keseluruhan, sepatu belum rusak total sampai benar-benar tidak bisa dipakai.
Sama halnya dengan pakaian yang sudah memiliki banyak robekan.
Lantaran belum benar-benar hancur sampai menjadi sekadar potongan kain, beberapa orang masih menyimpannya.
Bisa pula karena suatu barang memiliki nilai emosional yang melekat, seperti barang tersebut digunakan saat sedang dekat dengan seseorang.
"Kalau disimpan hanya untuk alasan sentimental seperti tadi, ada potensi barang mungkin akan digunakan kembali, dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, kita enggak bisa bilang itu hoarding disorder," ucap Shierlen.
Ia menekankan, perbedaan antara hoarding dengan hoarding disorder perlu ditegaskan kepada khalayak luas.
Pasalnya, sampai saat ini masih ada yang menganggap orang-orang yang tidak ingin membuang atau menjual barang-barang lama karena alasan sentimental dan sebagainya, sebagai pengidap hoarding disorder.
"Jangan sampai ketika ada orang yang suka nyimpan barang dengan rapi, misalnya karena punya nilai atau kenangan, kita langsung bilang dia itu pengidap hoarding disorder," pungkas Shierlen.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!