Kisah Ardi yang Sulit Buang Barang Lama, Ada Komik dari Tahun 2004

Ardi (36) termasuk orang yang suka menyimpan barang lama. Bahkan, ia masih menyimpan barang yang dibeli tahun 2004.
Laki-laki asal Kota Depok, Jawa Barat, ini sama sekali tidak berniat untuk membuang atau menjual barang-barang tersebut.
“Barang terlama yang saya punya, yang masih disimpan sampai sekarang dari tahun 2004-an, itu komik. Masih disimpan karena ada nilai sentimentalnya, belinya penuh perjuangan dulu,” ucap Ardi saat ditemui Kompas.com di Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (13/8/2025).
Alasan Ardi enggan membuang atau menjual barang lama
Punya nilai fungsional
Untuk Ardi, barang lama bukan sekadar benda, tapi menyimpan nilai emosional dan sejarah. Simak ceritanya menyimpan barang lama.
Ardi tak hanya menyimpan hampir 100 komik, tapi juga barang-barang lainnya yang mencakup baju, sepatu, topi, novel, barang elektronik seperti ponsel, dan kardus bekas membeli barang.
Alasan Ardi enggan membuang atau menjual barang-barang lama cukup beragam, salah satunya adalah nilai fungsional.
“Kalau untuk kardus, saya mikirnya bisa dipakai buat hal lain suatu saat nanti. Misalnya butuh untuk naruh barang, jadi tempat penyimpanan barang. Buat pindahan rumah juga bisa dipakai untuk packing, jadi sayang aja kalau dibuang,” jelasnya.
Kenangan yang melekat
Alasan lainnya adalah kenangan yang melekat pada barang tersebut. Untuk sepatu, misalnya, ia tetap menyimpannya meskipun dalam kondisi rusak.
Ia tidak ingin membuangnya karena setiap sepasang sepatu memiliki kenangan tersendiri saat masih bisa dipakai.
Ada sepasang sepatu yang digunakan ketika Ardi pertama kali bekerja setelah lulus kuliah. Ada pula sepasang sepatu lainnya yang ia gunakan saat dalam kondisi tertentu.
“Ada barang-barang yang saya enggak akan mau buang atau jual karena mereka sudah nemenin saya di masa tertentu. Ada nilai sejarahnya. Jadi ada perasaan sayang aja untuk dibuang atau dijual,” ucap Ardi.
Punya nilai emosional
Untuk Ardi, barang lama bukan sekadar benda, tapi menyimpan nilai emosional dan sejarah. Simak ceritanya menyimpan barang lama.
Kemudian adalah nilai emosional. Ada beberapa barang yang Ardi gunakan ketika ia sedang mengalami suatu emosi pada momen tersebut.
Misalnya adalah sepatu yang digunakan saat pertama kali bekerja. Sepatu tersebut tak hanya menyimpan kenangan saat ia pertama terjun ke dunia profesional, tapi juga perasaan senang dan bangga karena bisa langsung bekerja setelah lulus kuliah.
Selanjutnya adalah tumpukan komik yang dimiliki sejak tahun 2004. Saat ini, barang-barang tersebut memang dibiarkan menumpuk dengan rapi di dalam lemari. Ia pun sudah jarang membacanya.
“Awalnya memang niat ngumpulin komik buat koleksi, mau jadi kolektor. Tapi makin ke sini, alasan enggak pengin jual ke tukang loak karena nilai emosional dari perasaan achievement tersendiri,” jelas Ardi.
Pada tahun tersebut, banyak komik yang dibeli dengan “penuh perjuangan”. Ardi harus menabung sebagian uang jajannya, bahkan sampai mengirit, demi membeli satu komik.
“Jadi ada emosi yang bisa dibilang tertanam di komik-komik itu. Ada peraasan bangga karena berhasil punya komik dari hasil nabung. Ada kenangan waktu zaman sekolah, perjuangannya gimana sampai ngirit jajan, nabung,” kata dia.
Untuk nostalgia
Untuk Ardi, barang lama bukan sekadar benda, tapi menyimpan nilai emosional dan sejarah. Simak ceritanya menyimpan barang lama.
Ardi juga tidak ingin menjual atau membuang barang-barang yang disimpan sejak bertahun-tahun lalu demi nostalgia.
Ia senang mengingat kembali apa yang terjadi, dan perasaan yang dirasakan, ketika masih menggunakan barang yang disimpan.
“Yang bikin sayang untuk ngebuang atau ngejual barang tuh karena yang dibuang atau dijual bukan barangnya aja, tapi kenangan dan perasaan yang melekat ke barang itu, dan nostalgia yang diberikan barang itu,” terang Ardi.
“Walaupun memang sudah ada barang yang rusak, contohnya HP, ya tetap disimpan karena ada kenangannya,” lanjutnya.
Malas
Untuk Ardi, barang lama bukan sekadar benda, tapi menyimpan nilai emosional dan sejarah. Simak ceritanya menyimpan barang lama.
Memang tidak semua barang punya nilai-nilai khusus yang melekat. Sebab, ada pula barang yang disimpan cukup lama karena Ardi malas membuangnya, seperti botol parfum dan deodoran.
Menurut dia, barang-barang seperti itu tidak apa “ditimbun” dulu untuk beberapa waktu karena tidak mengeluarkan bau, membuat kamar kotor, dan mengundang hewan atau serangga.
“Biasanya karena malas aja, jadi botol parfum dan deodoran sering numpuk di atas meja, tapi enggak pernah lebih dari sepuluh,” tutur Ardi.
Barang bakal dijual atau dibuang dalam kondisi tertentu?
3 hal yang bikin Ardi akhirnya menjual atau membuang barang
Setiap barang memang punya nilai tersendiri. Kendati demikian, ada beberapa hal yang membuat Ardi bakal memutuskan apakah suatu barang sudah perlu dilepaskan.
Pertama adalah ada yang lebih membutuhkan barang tersebut sehingga ia tidak segan untuk memberikannya kepada orang lain.
“Terus, sudah semakin rusak pas disimpan dan sudah bikin tempat penyimpanan benar-benar penuh sampai kehilangan fungsinya,” tutur Ardi.
Dari tumpukan barang yang dimiliki saat ini, ada beberapa yang sudah “dilepaskan” yakni sebuah ponsel kuno yang masih berfungsi untuk diberikan kepada saudara, serta beberapa kardus yang diubah menjadi lemari rak kecil dan tempat penyimpanan barang.
Suka menimbun barang apa termasuk hoarding disorder?
Untuk Ardi, barang lama bukan sekadar benda, tapi menyimpan nilai emosional dan sejarah. Simak ceritanya menyimpan barang lama.
Hoarding disorder adalah gangguan mental ketika seseorang mengalami kesulitan parah untuk membuang atau melepas barang-barang, terlepas dari nilai barang tersebut.
Alhasil, penumpukan barang di tempat tinggal bakal terjadi sehingga dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Beberapa gejalanya mencakup suka menimbun banyak barang, sulit membuang atau menjual barang, sulit merapikan barang, serta merasa cemas, marah, atau panik saat hendak membuang barang.
Gejala lainnya mencakup cemas karena merasa bakal membutuhkan barang yang ditimbun di kemudian hari, serta ruangan tempat ia menimbun barang jadi tidak berfungsi karena terlalu banyak barang.
Beda kebiasaan menimbun barang dengan hoarding disorder

Untuk Ardi, barang lama bukan sekadar benda, tapi menyimpan nilai emosional dan sejarah. Simak ceritanya menyimpan barang lama.
Psikolog klinis yang berpraktik di Personal Growth, Shierlen Octavia, M.Psi. mengatakan, orang-orang yang suka menimbun barang dan enggan menjual atau membuangnya belum tentu mengidap hoarding disorder.
“Kalau hoarding saja, bisa jadi iya. Tapi apakah disorder? Kita enggak bisa bilang begitu juga," ujar Shierlen.
Shierlen melanjutkan, hoarding disorder adalah kondisi klinis yang tergolong ekstrem. Lantas, apa bedanya hoarding alias mengumpulkan barang dengan hoarding disorder?
"Bedanya, kalau hoarding disorder adalah ketika orang ini tidak menimbun barang maka akan timbul rasa tidak nyaman," jelas dia.
Bahkan, perasaan tidak nyaman itu bisa sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, misalnya ketika ia harus pergi ke kantor dan bekerja.
Alih-alih berangkat kerja, ia justru tidak bisa berfungsi karena merasa sangat cemas dengan barang-barangnya.
Bisa pula ia tidak bisa beraktivitas di dalam rumah karena barang yang ditimbun sudah sangat banyak, dan berujung pada stres karena secara fisik sulit bergerak.
"Kemudian dia jadi sangat perfeksionis ketika melihat ada satu barang yang hilang. Dia langsung tidak tenang atau stres sekali yang signifikan," kata Shierlen.
Sementara itu, hoarding menitikberatkan kegemaran mengumpulkan barang dan enggan membuangnya karena alasan tertentu. Misalnya adalah karena barang berpotensi akan digunakan kembali kemudian hari.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!