Sejarah Kelam dibalik Lomba Panjat Pinang

Ilustrasi Panjat Pinang
Ilustrasi Panjat Pinang

Hari ini Indonesia merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 Tahun. Beragam cara merayakan HUT-RI setiap tahunnya, mulai dari upacara bendera hingga aneka perlombaan meriah. Berbicara mengenai perlombaan, salah satu yang paling melekat dengan HUT RI adalah lomba panjat pinang.

Lomba panjat pinang dilakukan denngan menggunakan batang pohon pinang yang tinggi, biasanya 8–10 meter. Nantinya batang pohon tersebut dilumuri pelumas licin seperti oli, sabun, atau campuran minyak. Dengan puncak batang dipasang aneka hadiah yang menggiurkan, mulai dari peralatan rumah tangga, sepeda, uang tunai, hingga bahan makanan untuk diperubutkan. 

Peserta biasanya dibagi menjadi tim berisi 4–8 orang. Mereka harus bekerja sama membentuk “piramida manusia” untuk mencapai hadiah di puncak. Tantangannya, batang yang licin membuat peserta sering tergelincir, sehingga butuh strategi dan koordinasi yang baik.

Sorak-sorai penonton, teriakan memberi semangat, dan tawa yang pecah setiap peserta terpeleset semuanya membuat panjat pinang tak sekadar lomba, melainkan ajang kebersamaan yang dinanti setiap tahun. Namun dibalik kemeriahan panjat pinang, ternyata ada kisah kelam dibaliknya. 

Sejarah Kelam Panjat Pinang

Dilansir dari berbagai sumber, perlombaan panjat pinang berasal dari masa penjajahan Belanda. Saat itu hanya warga pribumi saja yang boleh melakukan perlombaan ini. Perlombaan ini biasanya dilakukan setiap tanggal 31 Agustus sebagai bentuk perayaan ulang tahun ratu Belanda kala itu yakni Ratu Wilhelmina. 

Dalam lomba tersebut, warga pribumi akan memperebutkan hadiah seperti bahan-bahan pokok, seperti tepung, kopi, gula, keju, baju, atau barang lainnya yang termasuk barang mewah bagi orang pribumi pada saat itu. Namun untuk mendapatkan hadiah tersebut tidaklah mudah, mereka harus memanjat tiang setinggi 5 meter yang dilumuri minyak.

Sementara itu, orang-orang Belanda yang menyaksikan perlombaan tersebut dari bawah menertawai orang-orang pribumi yang berusaha memanjat pohon pinang tersebut, dan menganggap hal tersebut adalah lelucon. 

Fandy Hutari dalam bukunya Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal menyebutkan, sebelum merdeka sekitar tahun 1930-an, permainan panjat pinang sering digelar orang-orang Belanda saat mereka mengadakan hajata seperti pernikahan, kenaikan jabatan, dan pesta ulang tahun. Fandy menyebut panjat pinang memiliki makna filosofis tersendiri. Sebab panjat pinang mengajarkan berjuang mencapai kemerdekaan, melatih kerja sama, kecerdikan, dan saling tolong antar pemain.

Perubahan Makna Setelah Merdeka

Pasca kemerdekaan 1945, panjat pinang mengalami transformasi makna. Jika dulu sarat dengan nuansa merendahkan, kini menjadi simbol kebersamaan dan perjuangan.

  • Hadiah kini dikumpulkan oleh panitia dari warga, bukan dari tuan tanah atau pemerintah kolonial.
  • Semua kalangan boleh ikut, tanpa ada kelas sosial yang membatasi.
  • Sorakan penonton kini bernuansa dukungan, bukan ejekan.

Namun, bagi sebagian pengamat budaya, sejarah kelam panjat pinang tetap menjadi pengingat bahwa tradisi tak selalu lahir dari niat mulia.

Selain itu, Jika kita lihat dari sudut pandang positif, panjat pinang memiliki nilai-nilai yang relevan dengan semangat kemerdekaan:

  1. Kerja sama tim – Tak ada satu orang yang bisa menang sendirian; butuh saling bantu.
  2. Pantang menyerah – Meski jatuh berkali-kali, peserta tetap mencoba lagi.
  3. Strategi dan koordinasi – Butuh rencana untuk membentuk ‘piramida manusia’ yang kokoh.

Hal ini membuat panjat pinang tetap menjadi lomba favorit yang mengajarkan sportivitas dan solidaritas.