Tragedi Masa Bersiap, Gedoran Depok, dan Sejarah Kelam Revolusi Indonesia 1945

Masa Bersiap bukan sekadar catatan sejarah, tapi cerminan betapa getirnya perjuangan selama periode revolusi kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari buku Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 karya Rosihan Anwar (2010), periode ini menggambarkan detik-detik penuh amarah dan kekacauan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Apa Itu Masa Bersiap?
Istilah Masa Bersiap disematkan oleh Belanda untuk menyebut periode kekerasan yang menyasar warga Eropa, Indo-Eropa, Tionghoa, hingga etnis Maluku di Jawa, selama 1945–1946.
Mereka melukiskan masa ini sebagai mengerikan dan mencekam, dengan perkiraan korban tewas antara 3.500 hingga 20.000 orang akibat kerusuhan, penjarahan, dan pembantaian.
Namun, menurut sejarawan Indonesia Bonnie Triyana dalam artikelnya di NRC berjudul Schrap term ‘Bersiap’ voor periodisering want die is racistisch, penggunaan istilah Bersiap dinilai problematis karena mengandung narasi rasis.

Bonnie bahkan sempat mendesak Belanda menghapus istilah ini, meski hingga kini masih dipakai dalam diskursus sejarah Belanda-Indonesia.
Ledakan Amarah: Dari Depok Memantik Jawa
Yang menarik, titik awal kekacauan ini banyak bermula di Depok, kawasan elit permukiman warga Belanda dan Indo-Eropa.
Pada 7 Oktober 1945, pemuda-pemuda Indonesia mulai menghalangi suplai bahan pokok ke warga Belanda.
Dua hari kemudian, Depok jatuh ke tangan Pemoeda, dengan penjarahan rumah-rumah warga.
Dikutip dari Serdadu Belanda di Indonesia, 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah karya Gert Oostindie, Ireen Hoogenboom, dan Jonathan Verwey (2016), bentrokan semakin memanas saat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melakukan serangan yang dikenal dengan nama Gedoran Depok pada 11 Oktober 1945.
Serangan ini menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap upaya Belanda merebut kembali kekuasaan.
Seruan “Siap! Siap!” menggema di gang-gang sempit.
Warga bersenjatakan bambu runcing, golok, hingga beberapa pucuk senjata api, siap menghadang tentara NICA-Belanda yang melintas.
Inilah yang kemudian menjadi alasan Belanda menyebut periode ini sebagai Bersiap.
Kekerasan yang Meluas dan Luka yang Dalam
Setelah Depok, kekacauan merembet ke wilayah lain di Jawa dan sebagian Sumatera.
Orang-orang Eropa, Indo, bahkan etnis Ambon dan Manado yang dianggap pro-Belanda ikut menjadi korban. Tragisnya, peristiwa ini juga diwarnai praktik penyiksaan brutal dan pemerkosaan.
Kelompok pro-Belanda pun tak tinggal diam. Mereka melancarkan balasan, termasuk kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang tercatat dua kali menjadi target pembunuhan pada Desember 1945.
Di Senen, tokoh-tokoh Ambon pro-Belanda seperti Wimpie, Albert, Mingus Gerardus, dan Polang menyerang pemuda-pemuda pro-Republik dengan kekejaman yang tak kalah sadis.
Kontroversi Sejarah: Genosida atau Kekacauan?
Belanda kerap menyebut Masa Bersiap sebagai bentuk genosida.
Namun, seperti dijelaskan dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia, istilah genosida tidaklah tepat.
Tidak ada bukti kuat bahwa kekerasan ini direncanakan secara sistematis untuk memusnahkan seluruh komunitas Eropa atau Tionghoa.
Yang terjadi adalah amarah kolektif rakyat yang selama ratusan tahun hidup tertindas di bawah kolonialisme.
Kekerasan ini memperuncing hubungan kedua bangsa hingga jauh setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Mengapa Penting Mengingat Gedoran Depok dalam Masa Bersiap?
Gedoran Depok bukan sekadar insiden kekerasan. Ia adalah simbol ledakan amarah rakyat kecil yang muak dengan penindasan.
Masa Bersiap menjadi penanda bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil darah dan luka, sekaligus pengingat bahwa kemerdekaan harus dirawat dengan menghormati sejarah secara utuh—bukan sekadar dari satu perspektif.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .