Festival Pacu Jalur 2025 Akan Digelar 20-24 Agustus 2025, Catat Lokasinya

Festival Pacu Jalur 2025 akan digelar pada Rabu (20/8/2025) sampai Minggu (24/8/2025) di Tepian Narosa, Kecamatan Kuantan Tengah, Riau.
Tahun ini, jumlah penonton Festival Pacu Jalur 2025 diprediksi akan membludak, setelah popularitas bocah penari pacu jalur, Rayyan Arkan Dikha, yang berhasil memukau warganet Indonesia hingga mancanegara lewat video di media sosial.
Sebagai informasi, Pacu Jalur adalah pesta rakyat yang menjadi ikon Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
Bagi masyarakat setempat, tradisi ini bukan sekadar perlombaan perahu, melainkan warisan budaya yang sarat makna, dengan jejak sejarah panjang sejak abad ke-17.
Sebelum jalan darat berkembang, Sungai Kuantan adalah urat nadi kehidupan masyarakat. Pada masa itu, jalur, yakni perahu besar dari batang kayu utuh tanpa sambungan, menjadi moda transportasi utama.
Jalur digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang, tebu, serta kebutuhan sehari-hari.
Ukurannya mampu menampung hingga 40–60 orang, menjadikannya kendaraan vital bagi warga di sepanjang aliran sungai, dari Hulu Kuantan hingga Cerenti.
Lambat laun, jalur tak hanya difungsikan sebagai alat angkut, tetapi juga diberi sentuhan estetika. Perahu dihias dengan ukiran berbentuk kepala ular, buaya, atau harimau, serta dilengkapi ornamen seperti payung, tali-temali, dan selendang.
Bagi kalangan bangsawan dan pemimpin adat, jalur berhias bahkan menjadi simbol status sosial dan kebanggaan.
Dari transportasi ke tradisi
Seiring berjalannya waktu, masyarakat menemukan sisi lain dari jalur, yakni kecepatan. Daya tahan para pendayung dan kelincahan perahu di sungai memunculkan ide untuk mengadu jalur dalam perlombaan. Inilah cikal bakal tradisi Pacu Jalur.
Awalnya, perlombaan ini digelar dalam rangka perayaan hari besar Islam dan berlangsung antarkampung.
Namun setelah kemerdekaan Indonesia, Pacu Jalur dijadikan agenda tahunan setiap Agustus untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.
Pacu jalur pada masa kolonial
Tradisi ini bahkan sempat disesuaikan dengan kepentingan Belanda. Pada era kolonial, Pacu Jalur digelar untuk memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina, 31 Agustus. Meski begitu, esensi acara sebagai hiburan rakyat dan wadah silaturahmi tetap terjaga.
Kini, Pacu Jalur telah menjelma menjadi festival budaya besar. Lebih dari seratus jalur ikut serta setiap tahun, masing-masing diawaki 45–60 orang pendayung atau “anak pacu.”
Suasana lomba di Teluk Kuantan selalu meriah: dentuman meriam tanda dimulainya pertandingan, sorak penonton, hingga kostum penuh warna para pendayung menciptakan tontonan yang memukau.
Tak hanya lomba adu cepat, Pacu Jalur adalah wujud semangat gotong royong, kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi, sekaligus promosi budaya Indonesia.
Dari perahu kayu sederhana sebagai transportasi sungai, kini jalur telah menjadi simbol identitas sekaligus magnet wisata yang mendunia.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!