Kenapa Sate Kere Solo Disebut Makanan Rakyat Jelata? Ini Ceritanya!

Sate Kere, Kreativitas di Tengah Keterbatasan, Sate Kere, Simbol Perlawanan Budaya, Keunikan Cita Rasa dan Penyajian, Dari Makanan Rakyat ke Ikon Kuliner, Daya Tarik Wisata Kuliner
Sate Kere

Sate Kere yang dikenal sebagai makanan khas Solo, Jawa Tengah, ternyata punya cerita panjang yang jarang diketahui orang. Makanan yang satu ini bukan hanya lezat, tetapi juga merupakan cerminan sejarah dan budaya masyarakat pribumi. Jika kebanyakan sate dibuat dari daging sapi, kambing, atau ayam, Sate Kere dibuat dengan bahan yang harganya jauh lebih terjangkau yakni tempe gembus dan jeroan sapi seperti kikil, usus, atau babat.

Nama "kere" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "miskin". Hal ini mencerminkan asal-usul makanan tersebut yang dulunya sering dikonsumsi oleh rakyat jelata terutama pada masa penjajahan Belanda. Di balik cita rasanya yang menggugah selera, sate kere menyimpan kisah perjuangan dan kreativitas masyarakat Solo yang patut dijelajahi. 

Kreativitas di Tengah Keterbatasan

Sate Kere, Kreativitas di Tengah Keterbatasan, Sate Kere, Simbol Perlawanan Budaya, Keunikan Cita Rasa dan Penyajian, Dari Makanan Rakyat ke Ikon Kuliner, Daya Tarik Wisata Kuliner

Sate Kere

Pada masa penjajahan Belanda, daging sapi atau kambing merupakan barang mewah yang hanya mampu dinikmati oleh kalangan atas, seperti kolonial Belanda dan kaum priayi. Masyarakat pribumi, yang mayoritas hidup dalam keterbatasan ekonomi, tidak memiliki akses untuk menikmati sate daging yang dianggap sebagai hidangan elit. 

Namun, keinginan untuk merasakan kelezatan sate mendorong masyarakat Solo untuk berkreasi dengan bahan-bahan yang tersedia, seperti tempe gembus—ampas tahu yang diolah menjadi tempe—dan jeroan sapi yang dianggap limbah oleh kalangan atas.

Menurut laman resmi Pemerintah Kota Surakarta, sate kere adalah bukti kreativitas masyarakat pribumi yang memanfaatkan bahan makanan yang dianggap remeh oleh kaum kolonial. Jeroan sapi, seperti usus, babat, atau kikil, yang sering dibuang, diolah dengan cerdik menjadi hidangan yang tak kalah lezat. 

Tempe gembus, dengan tekstur kenyal dan cita rasa gurih, menjadi alternatif daging yang terjangkau. Proses pengolahan sate kere melibatkan bumbu sederhana seperti ketumbar, bawang putih, bawang merah, dan gula merah, yang kemudian disajikan dengan bumbu kacang kental atau sambal kecap, menciptakan perpaduan rasa manis, pedas, dan gurih.

Simbol Perlawanan Budaya

Sate kere bukan hanya soal makanan, tetapi juga simbol perlawanan budaya masyarakat pribumi terhadap dominasi kolonial. Menurut Heri Priyatmoko, dosen sejarah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sate kere mencerminkan budaya tanding (counter-culture), yaitu gaya hidup masyarakat kelas bawah yang menentang norma sosial yang ditetapkan oleh kalangan atas. 

Dengan menciptakan sate kere, masyarakat pribumi menunjukkan bahwa mereka mampu menikmati hidangan serupa sate daging tanpa harus bergantung pada bahan mahal. Ini adalah bentuk kreativitas sekaligus perlawanan moral terhadap kesenjangan sosial yang ada pada masa itu.

Pada era kolonial, abattoir atau rumah pemotongan hewan dibangun oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan daging kaum Eropa. Jeroan dan lemak sapi, yang dianggap tidak layak oleh pengelola abattoir, menjadi bahan yang dimanfaatkan oleh rakyat jelata. 

Dengan bumbu yang sederhana namun kaya rasa, mereka mengubah “limbah” ini menjadi kuliner yang kini dikenal luas. Sate kere tidak hanya menjadi solusi atas keterbatasan ekonomi, tetapi juga wujud ketangguhan masyarakat Solo dalam menghadapi tantangan zaman.

Keunikan Cita Rasa dan Penyajian

Keunikan sate kere terletak pada bahan baku dan penyajiannya. Tempe gembus memiliki tekstur lembut namun kenyal, memberikan sensasi mirip daging saat disantap. Jeroan sapi, seperti kikil atau usus, menambah dimensi tekstur yang khas. 

Sebelum dibakar, bahan-bahan ini biasanya direndam dalam bumbu baceman—campuran bawang putih, ketumbar, dan garam—untuk menambah cita rasa. Setelah dibakar di atas bara arang, sate kere disiram dengan bumbu kacang yang kental, diolah dengan gula merah dan cabai, serta kadang ditambahkan aroma daun jeruk untuk kesegaran.

Sate kere sering disajikan dengan lontong atau ketupat, serta irisan bawang merah dan cabai sebagai pelengkap. Bumbu kacangnya, yang tidak ditumbuk terlalu halus, memberikan tekstur kasar yang memperkaya pengalaman menyantap. 

Di beberapa tempat, seperti warung Sate Kere Yu Rebi di Jalan Kebangkitan Nasional, Solo, pengunjung juga dapat menikmati variasi sate jeroan atau tempe gembus goreng sebagai pelengkap. Warung ini, yang buka dari pukul 10.00 hingga 17.00 WIB, menjadi salah satu destinasi kuliner favorit di Solo.

Dari Makanan Rakyat ke Ikon Kuliner

Meskipun awalnya identik dengan makanan rakyat jelata, sate kere kini telah “naik kelas” dan menjadi ikon kuliner Solo yang digemari berbagai kalangan, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara. 

Warung seperti Sate Kere Mbak Tug di Jalan Arifin, Jebres, yang menjadi langganan Presiden Joko Widodo, membuktikan popularitasnya. Warung ini sering kehabisan stok sebelum tengah hari karena tingginya antusiasme pelanggan. 

Sate kere juga mulai masuk ke menu restoran ternama, menunjukkan transformasinya dari makanan kelas bawah menjadi kuliner berkelas tanpa kehilangan akar budayanya.

Keberadaan sate kere di pasar tradisional, seperti Pasar Beringharjo di Yogyakarta, juga menambah daya tariknya. Meskipun versi Yogyakarta lebih mengedepankan gajih sapi sebagai bahan utama, sate kere Solo tetap mempertahankan tempe gembus dan jeroan sebagai ciri khasnya. 

Kuliner ini kini menjadi bagian dari wisata kuliner malam di Solo, dengan warung seperti Sate Kere Mak Narti di Jalan Sutan Syahrir yang ramai dikunjungi mulai pukul 21.00 WIB.

Daya Tarik Wisata Kuliner

Sate kere tidak hanya menawarkan kelezatan, tetapi juga pengalaman budaya yang autentik. Menikmati sate kere di warung kaki lima sambil merasakan atmosfer khas Solo memberikan pengalaman yang tak terlupakan. 

Harga yang terjangkau, mulai dari Rp10.000 hingga Rp30.000 per porsi, membuatnya tetap ramah di kantong. Kuliner ini juga menjadi bagian dari festival kuliner, seperti Solo Indonesia Culinary Festival, yang memperkenalkan kekayaan rasa sate kere kepada khalayak yang lebih luas.