Top 5+ Poin Analisis Sosiolog soal Ramainya Pengibaran Bendera One Piece Jelang 17 Agustus

Fenomena pengibaran bendera One Piece jelang Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus memunculkan beragam reaksi.
Di sejumlah tempat, bendera bergambar tengkorak bertopi ala anime One Piece itu dikibarkan berdampingan dengan atau bahkan menggantikan bendera Merah Putih.
Bagi sebagian masyarakat, simbol ini sekadar ekspresi budaya populer. Namun, tidak sedikit pula yang mengaitkannya dengan gerakan protes sosial, bahkan ada yang menilai sebagai ancaman terhadap identitas nasional.
Lantas, apa analisis sosiolog terhadap fenomena tersebut?
Analisis sosiolog terkait pengibaran bendera One Piece
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono memberikan lima poin pandangan tentang fenomena ini:
1. Ekspresi identitas populer, bukan ancaman negara
Drajat menilai bendera One Piece yang dikibarkan bukan representasi bajak laut garang seperti simbol kekerasan.
Versi anime saat ini lebih menonjolkan nilai-nilai petualangan dan kepahlawanan alternatif.
“Kalau saya sendiri melihat bahwa ketika yang diambil itu bukan bendera yang mewakili bajak laut yang wajahnya garang, tengkorak yang garang dan bendera hitam itu, lebih ke arah animasi, lebih ke arah petualangan dan kepahlawanan yang tidak formal, kepahlawanan yang lebih santai,” ujar Drajat kepada Kompas.com, Jumat (1/8/2025) malam.
Menurutnya, simbol ini lahir dari budaya kreatif rakyat dan tidak merepresentasikan bentuk perlawanan terhadap negara.
“Yang bendera bertopi itu lebih pengembangan ke arah identitas budaya yang dibangun untuk menunjukkan adanya upaya-upaya simbol kepahlawanan, simbol kekuatan itu basisnya dari rakyat, dari orang-orang yang kreatif, inovatif dan mau berpetualang menjelajah hidup daripada kemapanan negara,” jelasnya.
2. Efek tren dan demonstration effect
Ilustrasi bendera One Piece. Foto Pop Culture Geek 2012 yang diambil oleh Doug Kline
Fenomena ini juga tidak lepas dari pengaruh tren dan efek ikut-ikutan yang dalam sosiologi dikenal sebagai demonstration effect.“Pertama adalah bahwa ini satu kesenangan, yang dibagi merata, dan orang-orang merasa dan karena ini dikenal banyak di mana-mana, orang ikut-ikutan semacam FOMO. Dalam sosiologi demonstration effect, terpakai banyak, kita ikut-ikutan, belum tentu memiliki motivasi yang lain kecuali hanya mengikuti, itu satu,” kata dia.
3. Bagian dari reproduksi budaya populer
Penggunaan bendera One Piece juga merupakan contoh dari reproduksi budaya, yaitu bagaimana simbol-simbol dari media massa diterjemahkan dan digunakan dalam kehidupan sosial.
“Memang bisa menjadi istilahnya di sosiologi, reproduksi budaya, bagaimana budaya itu dipakai, anime itu kemudian disukai, dan kita banyak contohnya. Reproduksi Korea dan itu dibangun melalui perantara-perantara yang disebut dengan apa namanya kultur, ada perwakilan simbol,” katanya.
Ia menambahkan, simbol tengkorak bertopi yang kini digunakan justru telah dimaknai ulang sebagai lambang perjuangan, kebebasan, hingga keadilan.
“Justru versi yang menggambarkan yang dulunya seram, dirubah lebih arahnya ke petualangan, dan upaya untuk kreativitas membangun kemerdekaan dan keadilan,” ucap Drajat.
4. Tak perlu disikapi berlebihan
Dua orang massa aksi demonstrasi Aliansi Reformasi KUHAP saat mengibarkan bendera One Piece di depan Kantor DPRD Kalteng, Palangka Raya, Jumat (1/8/2025).
Drajat mengingatkan bahwa respons negara yang berlebihan justru bisa memunculkan kesan negatif di masyarakat.
“Reaksinya sangat berlebihan terhadap simbol-simbol reproduksi budaya itu, akan membuat orang akan menilai ada apa negara ini ketakutan dengan ini,” katanya.
Jika memang ada kajian intelijen terhadap fenomena ini, lanjutnya, maka harus dibedakan antara gerakan strategis dan sekadar tren budaya.
“Kalau yang bukan intelijen, itu sebenarnya santai saja menghadapinya, tidak lama akan hilang,” kata dia.
5. Bukan konfrontasi dengan identitas nasional
Meskipun beredar di momentum menjelang 17 Agustus, Drajat menegaskan bahwa simbol One Piece tidak bisa serta-merta dianggap sebagai tandingan terhadap bendera Merah Putih atau identitas nasional.
“Bahwa kemudian signifikasinya dihubungkan dengan bendera 17 Agustus, itu kalau menurut saya tidak terlalu sebuah konfrontasi dua identitas, identitas nasional dan identitas populer. Tetapi ini jalannya sendiri-sendiri. Identitas nasional tetap dihormati, sementara identitas populer tetap muncul dan berganti nanti,” terangnya.
Ia menyimpulkan bahwa identitas nasional akan tetap bertahan dan dihormati, sedangkan identitas populer akan terus berganti mengikuti zaman.
“Merah Putih upacara itu kan tetap bertahan sampai kapan pun karena dipertahankan baik oleh rakyat dan negara, tapi identitas populer itu silih berganti akan naik dan turun. Dia akan hilang kalau signifikasinya diganti dengan cerita baru, reproduksi baru,” pungkasnya.