Pro dan Kontra Kepala Daerah Soal One Piece, Pengamat UNS: Kebangetan Jika Dianggap Makar

Pro dan Kontra Kepala Daerah Soal One Piece, Pengamat UNS: Kebangetan Jika Dianggap Makar

Mural dan bendera One Piece telah ditemukan sejumlah daerah. Bakan pejabat setempat seperti bupati atau wali kota ada yang meresponnya dengan menghapus dan ada juga yang membiarkannya.

Menanggapi pro dan kontra terkait One Piece tersebut Pengamat Komunikasi Politik UNS Solo, Sri Hastjarjo, menyebut pemahaman di level pemerintah belum sinkron dan belum ada persepsi yang sama terkait menyikapi fenomena tersebut.

“Antar pemerintah saja baik pusat atau daerah persepsinya belum sama, apalagi masyarakat umum, jadi masalah baru di lapangan,” kata Sri, Kamis (7/8).

Dia mengatakan persoalan ini juga tidak ada kaitannya dengan Presiden ke-7 Jokowi. Meskipun ada sejumlah daerah dekat dengan Jokowi seperti Wali Kota Solo Respati Ardi.

“Itu kebablasan juga, mungkin tidak tahu aturannya, mungkin cara pandangnya ini tidak berbahaya tidak sampaikan dikaitkan ke sana menurut saya," ucap dia.

Hastjarjo mengatakan jangan sampailah masalah pro kontra baik pejabat maupun kepala daerah terkait pengibaran bendera di politisasi.

"Saya pikir belum ya, kecuali nanti di eskalasi ada orang yang menggoreng dan sebagainya. Itu harus dicegah dengan cara mengedukasi," katanya.

Hastjarjo menegaskan kalau pengibaran bendera one piece dituding sebagai makar itu kebangetan. Karena kalau makar itu sesuatu yang sangat serius, ingin memberontak atau mengganti negara dan sebagainya.

"Inikan nggak sampai ke situ. Jadi kalau itu disebut makar kebangetan dan kebablasan lah, makar itu sesuatu yang sangat serius," sambung dia.

Menurutnya ini salah satu bentuk ekspresi berpendapat dan ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 28. Hanya saja memang ada catatan, maksudnya khusus untuk simbol-simbol negara itu ada aturan mainnya.

"Jadi mungkin itu tidak ada maksud makar atau apa, hanya nggak tahu aturannya saja. Misalnya dibawah bendera tidak ada simbol yang lain atau sebagainya," ujarnya.

Ia menambahkan seharusnya pemerintah itu mengedukasi kepada masyarakat, karena banyak yang tidak tahu kalau soal simbol negara ada aturan main yang itu harus ditaati.

"Tidak bisa kemudian serta merta langsung sekedar melarang tanpa mengedukasi. Langkah pertama mesti mengedukasi atau sosialisasi dulu, karena tidak semua orang tahu sehingga jangan terlalu cepat menuduh itu makar," pungkasnya. (Ismail/Jawa Tengah)