Tafsir Semiotika Bendera One Piece: Pakar UMY Sebut Bentuk Kritik Politik

bendera One Piece, pengibaran bendera One Piece, bendera one piece, pengibaran bendera one piece, bendera one piece berkibar, bendera one piece artinya, pengibaran bendera one piece jelang 17 agustus, Tafsir Semiotika Bendera One Piece: Pakar UMY Sebut Bentuk Kritik Politik

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, fenomena tak biasa muncul di sejumlah daerah.

Bendera bajak laut dari anime One Piece terlihat berkibar di berbagai tempat, terutama di truk-truk yang melintas di jalanan.

Tak hanya itu, di media sosial pun beredar foto-foto pengibaran bendera One Piece berdampingan atau bahkan di bawah bendera Merah Putih.

Fenomena ini pun memicu perdebatan. Di satu sisi dianggap bagian dari budaya populer, namun di sisi lain, muncul kritik karena dianggap tak menghormati simbol negara.

Pemerintah sendiri sudah merespons—mulai dari melarang pengibaran bendera One Piece menjelang 17 Agustus, hingga menghapus mural bertema One Piece dan mendatangi warga yang terlibat dalam aksi tersebut.

Di tengah perdebatan ini, Fajar Junaedi, pakar komunikasi dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyampaikan pandangan yang lebih dalam.

Dosen yang juga dikenal dengan nama Fajarjun itu melihat bahwa One Piece bukan sekadar tontonan, tetapi juga memiliki kedalaman makna dalam kajian semiotika.

“One Piece adalah manga shōnen yang berarti manga yang ditujukan untuk remaja pria, sebenarnya telah lama beredar. Dalam konteks semiotika, bisa dilihat dengan memulai dari tema utamanya: kerja keras, kemenangan, dan persahabatan,” kata Fajarjun, Senin (4/8/2025) dalam laman resmi Muhammadiyah.or.id.

Ia menjelaskan bahwa karakter-karakter dalam One Piece mewakili nilai-nilai tertentu, sementara tokoh antagonisnya merupakan simbol dari nilai yang bertentangan. Dari sinilah muncul pertarungan ideologis yang kerap disajikan dalam kisah mereka.

“Pertempuran ideologis ini menegaskan lagi bahwa nilai-nilai tokoh utama adalah yang terbaik dalam arena pertarungan yang dalam manga sebagai bagian dari budaya populer,” jelasnya.

Selain narasi, Fajarjun juga menyoroti elemen visual yang kuat dalam anime tersebut—mulai dari desain karakter, kostum, hingga atribut yang digunakan. Semua ini mendukung pesan cerita dan memainkan peran penting dalam menyampaikan nilai budaya.

Dalam konteks politik, ia menyebut bahwa representasi karakter dan ideologi dalam One Piece punya makna semiotik lebih dalam, dikenal sebagai secondary signification—yakni ketika karakter didesain untuk mewakili nilai atau konflik sosial yang lebih luas.

“Saya merujuk penelitian dari Thomas Zoth (2011) yang berjudul The politics of One Piece: Political critique in Oda’s Water Seven. Zoth menyebutkan bahwa alur Water Seven menggunakan karakter untuk mengeksplorasi relasi antara individu dan negara, khususnya dalam hal keamanan nasional. Narasi tersebut menyiratkan bahwa mengorbankan hak individu demi peningkatan keamanan yang dirasakan tidak dapat diterima, dan memberikan perhatian pada sikap kritis terhadap isu-isu politik,” tuturnya.

Fajarjun pun menilai bahwa pengibaran bendera One Piece oleh masyarakat Indonesia saat ini bisa dibaca sebagai simbol identitas dan bentuk perlawanan sosial, bukan sekadar ikut-ikutan tren.

Ia mengaitkannya dengan teori dari sosiolog Alberto Melucci, yang menyatakan bahwa gerakan sosial membutuhkan simbol pemersatu. Dalam hal ini, bendera One Piece menjadi semacam lambang perlawanan, sekaligus alat menyampaikan identitas di ruang digital.

“Ini terlihat dengan warganet yang menggunakan bendera One Piece di status media sosial, profil media sosial, membagikan di media sosial, dan bahkan mendiskusikannya di media sosial. Setelahnya media massa menjadikannya berita, lengkap dengan komentar para pejabat yang acapkali justru malah kontraproduktif bagi pemerintah karena ketidakpahaman,” tutupnya.