Kontroversi Restorative Justice: Sopir BMW Tewaskan Orang, Vonis 1 Bulan Jadi Sorotan

Foto BMW kecelakaan tewaskan 1 orang tewas
Foto BMW kecelakaan tewaskan 1 orang tewas

Putusan ringan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam kasus kecelakaan maut di Tol JLB Cengkareng menuai kontroversi. Terpidana Albert Manorekang, pengemudi BMW putih yang menewaskan Hessel Nathaniel serta menyebabkan dua penumpang lain luka berat, hanya dijatuhi hukuman 1 bulan penjara, dipotong masa tahanan kota.

Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 2 bulan penjara. Padahal, berdasarkan dakwaan, Albert dinyatakan bersalah melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas, dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.

Kecelakaan tersebut terjadi pada 25 Agustus 2024. BMW yang dikendarai Albert menabrak truk boks hingga menyebabkan sopir, Muhamad Aziz Muslimin, tewas. Penumpang lain, Ian Renaldi mengalami luka ringan, sementara Keyzia Alfian Raintung cacat permanen.

Namun, selama proses hukum, Albert tidak pernah ditahan di sel penjara. Majelis hakim bahkan menganjurkan keluarga korban menerima perdamaian berupa ganti rugi dari pihak terdakwa, dengan dalih penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.

Hal inilah yang memicu kekecewaan keluarga korban. Penasihat hukum keluarga, Novita Zahrani Gafur, menilai tuntutan dan vonis yang sangat ringan ini mencederai rasa keadilan.

“Kami merasa sangat kecewa dengan tuntutan JPU yang sama sekali tidak memepertimbangkan pemenuhan rasa keadilan kepada Korban. JPU yang notabene-nya mewakili kepentingan hukum Korban justru menunjukkan ketidak-berpihakannya kepada Korban yang Meninggal Dunia. Tuntutan seringan itu menjadi pertanyaan besar bagi kami, bagaimana JPU merumuskan tuntutan hukuman dan menerapkan teori restorative justice dalam perkara ini," kata dia, Jumat, 22 Agustus 2025.

Nada serupa disampaikan penasihat hukum lainnya, Okta Heriawan. Menurutnya, vonis ringan ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Meski JPU menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding, keluarga korban tetap mendesak agar jaksa mengajukan upaya hukum. Mereka menilai banding adalah jalan terakhir untuk memperjuangkan keadilan bagi korban meninggal dunia.

"Hal ini menjadi preseden buruk bagi institusi peradilan dan semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum," kata Okta.