Perempuan di Balik Jerat Terorisme, dari Stigma hingga Jadi Agen Perdamaian

Terorisme tidak hanya meninggalkan jejak pada pelaku, tetapi juga pada keluarga yang ditinggalkan.
Perempuan, terutama istri, kerap memikul beban paling berat ketika suaminya terjerat kasus terorisme.
Di balik narasi besar tentang radikalisme, mereka sering terperangkap dalam stigma, dituntut menghidupi keluarga, sekaligus berjuang agar bisa diterima kembali di tengah masyarakat.
Kisah itu nyata dialami oleh dua perempuan di Indonesia. Dari pengalaman pahit sebagai istri napi terorisme, mereka kini justru tampil sebagai agen perdamaian dengan langkah sederhana di lingkungan sekitar.
Niya, Bertahan dari Sisa Hidup
Niya (42), istri eks napi teroris membuka usaha kue di rumahnya.
Niya (42) mengingat jelas saat suaminya, Hari Budiarto, ditangkap Densus 88 Antiteror di Surakarta pada 2011.
Suaminya, yang akrab disapa Nobita, dianggap terlibat dalam serangan bom bunuh diri di Masjid At-Taqwa, kompleks Polresta Cirebon, Jawa Barat, pada 15 April 2011.
Sedikitnya 26 orang terluka dalam peristiwa itu.
Saat ditangkap, Nobita membonceng putrinya yang masih balita. Sang anak trauma akan kejadian itu dan tiga bulan sempat tidak bisa berjalan.
Niya kaget. Apalagi, saat itu suaminya tak meninggalkan apa-apa selain tiga pasang burung parkit di rumah.
Sebagai sarjana perpajakan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, ia mendadak harus menanggung beban hidup seorang diri.
Tudingan dari tetangga dan kerabat datang bertubi-tubi, padahal ia mengaku tidak tahu apa-apa soal keterlibatan suaminya.
“Suami yang saya tahu, bekerja seperti biasa, mengaji pun seperti biasa, hanya ikut tabligh akbar di masjid dekat rumah,” ujar Niya.
Dalam kondisi kaget dan sedih, Niya tetap harus menghidupi diri sendiri sekaligus anaknya yang trauma.
“Saya berusaha menjaga kondisi psikis anak, tetapi wajah bapaknya malah terlihat jelas di media,” kenang Niya, yang ditemui Kompas.com, Minggu (17/8/2025) dan seminggu setelahnya.
Tak ingin terus larut, Niya bangkit.
Ia memulai dengan beternak burung parkit dari tiga pasang burung peninggalan suaminya. Saat itu, harga sepasang parkit bisa mencapai Rp 700.000. Usaha burung parkit ada pasang surutnya.
Tak hanya mengandalkan ternak burung, Niya ia belajar menjahit jilbab dari seorang teman. Dari situ lahir ide membuat gamis panjang untuk putrinya, yang ternyata disukai banyak orang.
Pesanan datang dari ibu-ibu pengajian hingga ke luar kota. Ia juga sempat berjualan daster dan jilbab yang diminati banyak pelanggan. Namun, jalan itu tak selalu mudah.
Ia sering merasa diawasi orang saat berbelanja dagangan. Niya juga harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk menjenguk suami yang ditahan di Jakarta, sebelum akhirnya dipindahkan ke Magelang. Pertemuan dengan suami pun hanya sebentar.
Meski begitu, Niya tetap bertahan. Ia bahkan tidak mau meminta bantuan siapa pun. Niya diam dengan segala tuduhan yang menderanya.
“Saya pasrah saja pada Allah. Ada juga teman saya yang tidak kuat, sampai sekarang depresi,” ucapnya. Nobita pun mengakui keteguhan sang istri.
“Istri saya, juga istri teman-teman saya yang eks-teroris, luar biasa,” ujar Nobita yang ditemui Kompas.com, Sabtu (23/8/2025).
Nobita kini mendukung penuh semua kegiatan sang istri, termasuk menerima pesanan kue, yang dilakukan sejak 2021. Kue-kue buatan Niya rasanya enak dan disukai banyak orang hingga ia kini memiliki beberapa reseller.
Nurrohmah dan Konveksi untuk Hidup Baru
Nurrohmah (46), istri eks napi terorisme aktif berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Keteguhan yang sama ditunjukkan Nurrohmah (46).
Suaminya, Joko Trihermanto alias Jack Harun, ditangkap di Solo pada 2004 karena terlibat tragedi Bom Bali 1.
Ia dikenal sebagai anak buah Dr Azahari dan Noordin M Top, serta mengaku berperan sebagai timer sekaligus perakit bom.
Saat penangkapan itu, Nurrohmah yang akrab disapa Rohmah memiliki dua anak yang masih kecil. Perempuan fisioterapis ini awalnya memilih menjadi ibu rumah tangga. Namun, setelah suaminya ditangkap, ia memutuskan kembali bekerja.
“Orangtua sebenarnya support system yang baik sekali untuk saya dan anak-anak. Tetapi saya mencoba untuk mandiri. Apalagi, perempuan harus sibuk agar pikirannya enggak macam-macam,” katanya.
Ia mengontrak rumah kecil di dekat klinik bersalin tempatnya bekerja di Sukoharjo, Jawa Tengah. Selain bekerja di klinik, ia mendirikan konveksi yang masih berjalan hingga kini.
Ia bahkan mempekerjakan sesama istri eks napiter untuk membantu di konveksi. Lewat usaha itu, Rohmah bisa menghidupi keluarga.
Bahkan, setelah Jack bebas usai menjalani hukuman empat tahun penjara, konveksi itu tetap menjadi penopang ekonomi keluarga.
Menolak cara kekerasan
Rohmah pernah dibaiat bergabung Jamaah Islamiyah saat kuliah sehingga saat itu ia tidak terlalu kaget dengan cara berpikir dan perjuangan suaminya.
Kala itu, ia meyakini jihad sebagai jalan perjuangan. Namun, tragedi Bom Bali 1 yang menewaskan ratusan orang membuatnya menolak cara-cara kekerasan.
Ia pun justru berusaha mendidik anak-anak agar menjauh dari lingkungan yang rawan paparan radikal. Apalagi, setelah keluar penjara, Jack justru memilih jalur deradikalisasi dan aktif menyosialisasikan soal ini.
Jack Harun bahkan berhasil mendapat beasiswa dan menempuh S2 Pendidikan Pancasila di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan lulus pada 2025.
“Itu saya yang menyarankan, karena sejalan dengan apa yang ia lakukan sekarang,” ujar Rohmah.
Kini, Rohmah aktif di berbagai kegiatan masyarakat.
Setiap perayaan Hari Kemerdekaan, ia selalu menjadi panitia, bahkan hingga tingkat Balaikota. Semua anaknya pun ikut dilibatkan.
“Mungkin hanya keluarga saya yang lengkap satu keluarga keluar semua merayakan 17-an,” ujarnya sambil berkelakar.
Namun, jalannya tidak mulus. Keluarganya sempat dituduh macam-macam hanya karena ia menolak meminjamkan mobil yang hendak dipakai mengangkut bom.
Suara teriakan orang membuat anak-anaknya ketakutan. Rohmah pun mengambil sikap tegas. Ia pilih melawan.
“Bukan apa-apa, itu hasil kerja keras saya. Kebayang kalau tertangkap, nanti abi-nya disangkutpautkan lagi,” katanya.
Ia selalu berpesan kepada perempuan lain agar aktif dalam kegiatan positif. Selain pengajian, ia bergabung dalam komunitas bisnis dan menularkan ilmunya kepada sesama perempuan.
“Kalau komunitas bisnis ini kan untuk semuanya, bukan hanya kalangan tertentu,” ujarnya.
Pendampingan Bapas
Di balik perjuangan Niya dan Rohmah, ada pula sosok yang peduli mendampingi mereka.
Kristin Yuniastuti, Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Madya di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Surakarta, menegaskan bahwa tugas PK mencakup penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap klien.
Namun, di luar tugas formal itu, Kristin sering tergerak membantu istri eks napiter agar bisa mandiri.
“Mereka menghadapi beban ganda setelah suaminya ditangkap. Mereka tak hanya menjadi ibu, tetapi juga tulang punggung keluarga,” ujarnya.
Kristin mengakui, sebagian besar istri eks napiter memiliki kesabaran dan kegigihan luar biasa.
Mereka sanggup berjuang demi keluarga, bahkan mengembangkan usaha dari nol meski awalnya hanya ibu rumah tangga.
Kristin sendiri kerap membeli produk-produk yang mereka hasilkan, meski harus merogoh kocek pribadi.
“Selama ini perhatian banyak tertuju pada napi terorisme, tetapi kurang memperhatikan istrinya,” katanya.
Kisah Niya dan Rohmah menunjukkan bahwa di balik gelapnya terorisme, ada perempuan yang memilih bertahan dan menyalakan harapan.
Dengan usaha kecil, kerja keras, dan dukungan sekitar, mereka membuktikan bahwa luka bisa diubah menjadi kekuatan.
Dan dari tangan-tangan perempuan itu, perdamaian bisa tumbuh, mulai dari keluarga, hingga ke masyarakat.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!